Selamat malam, Bujang.
Apa kabar? Surat mu kemarin sudah ku terima. Iya, Jang,
hidup memang sudah berbeda sekarang. Sama seperti diriku.
Aku merasa ada yang salah. Aku selalu melakukan salah. Dan selalu
merasa bersalah karenanya. Walaupun orang bilang tidak ada yang salah. Tapi bagaimana
kau tidak merasa bersalah ketika yang dihadapkan dengan mu adalah semua hal
yang benar, tidak ada cacatnya, tidak pernah salah? Lalu, kau anggap apa
dirimu, Jang, jika kau berada di kaki ku?
Aku ingat terakhir kali kau katakan kepada ku bahwa aku
harus selalu belajar. Belajar berdamai dengan diri sendiri. Menerima kesalahan.
Memaafkan diri sendiri. Dan mulai bergerak maju. Belajar dari kesalahan dengan
tidak mengulanginya. Tapi, rasanya lain, Jang, disini. Seakan semuanya tak
cukup. Ada saja cacatnya. Mereka bilang,
sih, tak mengapa, seperti biasa. Tapi, hati ku mengatakan lain, Jang.
Rasanya ada yang mengganjal. Karena jujur saja, disini segalanya menghimpit,
memojokan, perlahan dan tidak kentara.
Menurutmu, baiknya aku bagaimana, Jang?
Jang, datanglah ke kota ku. Aku mulai hilang arah, Jang. Bantu
aku. Seperti dulu kau mengajari ku bagaimana mengendarai sepeda atau
menerbangkan layangan berserta manuver liukan mengelak jebakan tiang listrik
yang menjebak layangan lima ratus perak kita. Aku rasanya mau membelah diri
saja kalau begini caranya, Jang. Membiarkan setengah dan setengah diri ku
melakukan kesalahan dan kebaikan masing-masing. Terpisah. Agar tak tercampur. Agar
aku bisa dengan mudah nya melihat,
Mana tahu, aku bisa melakukan kebaikan juga.