Pernah di suatu waktu kita berkata, “Jalan mana yang ingin kau tempuh?”.
Lalu, kau hanya menjawab enteng, ”Yah yang mana sajalah, asalkan Tuhan yang
beri.” Dalam senyum tipis mu, aku tahu. Kau tak inginkan seperti itu. Tapi aku
hanya terdiam, membiarkan lidah ini kelu tak berirama. Sore itu kita habiskan
bersama saja. Aku, kamu, dan pilihan kata pembentuk mimpi omong kosong mu.
Selama ini aku tahu, mana ada benda di dunia ini yang mampu membuat mu pasrah,
menerima apapun yang kau katakan ”asalkan Tuhan yang beri.” Pih. Mengenal Tuhan
saja, prestasi bagimu. Kamu, mahkluk paling kekar dalam pemikiranmu, manusia
paling keras kepala yang pernah ku tahu. Mana ada sejarah nya kau lelah dalam
waktu? Mana ada catatan nya kau kalah pada keadaan pembentuk hari? Tak ada,
kawan. Ini bukan kau. Namun aku hanya terdiam dan rantaikan jejak padamu.
Hingga sampai pada waktu kau buka kartu, kau menemukan realita pembentuk
dirimu. Ternyata dirimu tak seteguh dahulu. Zaman mengikismu, waktu
melemahkanmu. Entah lah, kau bukan dirimu yang dulu. Ketika jalanmu menjadi
jalanku, dan jalanku menjadi jalanmu. Kau tawarkan sejenak cerita cerita dahulu
antara kau dan mimpi mu. Mimpi yang kau gadaikan, mimpi yang kau lemparkan,
mimpi yang kau buang, mimpi yang kau telantarkan. Entah apa yang kau pikirkan
waktu itu. Waktu saat gadaikan mimpi mu. Kerasukan setan apa kau? Termakan rayuan
iblis apa kau? Semoga kau paham apa yang salah karena ini bukan diri mu. Semoga
kau tahu siapa yang kalah karena aku tahu ini menyiksamu.
Aku kini hanya diam, Sobat. Bergeming, mendoakan mu dalam jarak.
Untukmu, mimpimu, dan kehidupan baru mu.
No comments:
Post a Comment