Lalu kau berpacu
dengan waktu. Dia yang dituduh paling gila. Karena memang memabukan. Menyesatkan.
Memuakkan. Karena waktu itu sekarang. Bukan yang lalu atau yang di depan. Tapi jam
ini detik ini lagi.
Lalu kau
mengumpat. Mengapa jantung berdetak dengan ritme yang sama. Mengapa detak jatuh
pada waktu yang sama. Tak bergerak. Hanya statis. Kau menampar dirimu sendiri. Menumpahkan
keringat yang kau sebut kejemuan. Karena waktu itu sekarang dan bukan kapan
depan.
Lalu kau mulai
mengigau. Dalam sadarmu. Karena kau tahu bukan ini yang diinginkan. Ini hanya
waktu mengelabui. Karena ia bersikeras tak ingin menjawab. Bergeming. Kau tanya
dimana, kapan, apa, mengapa, siapa. Sunyiyang kau dapat. Kau dungu. Iris nadi dirimu sendiri jika kau tahu
itu salah.
Lalu kau sadar. Kau
bukan dungu. Kau hanya harus menunggu. Bersabar katanya. Iya. Karena siapapun
yang bijak hanya akan tersenyum. Melafalkan berbaris kata dan kalimat sakti
yang dirasa mujarab. Tapi yang kau tahu itu hanya sampah. Karena sang bijak pun
tak berpijak di tanah yang sama. Karena yang bijak hanya melirik, paling benar
ya sebatas mengobservasi, memantau. Apapun itu, berkaitan dengan hati dan
pikiran, selalu tak sejalan. Tak pernah terpecahkan.
Lalu kau
bertanya. Lagi. Pertanyaan yang sama. Kapan. Mengapa.
Lalu kau berpacu
dengan waktu. Kali ini bukan ia yang keparat, hanya saja kau yang sudah genggam khitah.
No comments:
Post a Comment