Sempat ada waktu perih timbul, sesak membengkak, dan
iri menyembul pada setiap kata, baris, bahkan jeda yang kau tata pada koma.
Tentang mereka. Siapapun mereka, apa warnanya, dan bagaimanapun kau wujudkan
dalam imaji. Manis, pahit, pedih, melambung, menyentuh, tipikal jatuh cinta.
Hingga kau mengalungkan nama baru
di dada mu, “pujangga,” kata mereka.
Sempat ada waktu logika
mengerjakan tugasnya. Membandingkan. Mencocokan antara perkataan yang terucap
dan kenyataan yang terpampang. Mengoreksi, nampaknya. Pada akhirnya, kotak
logika menyimpulkan korelasi nihil adanya.
“Katanya ‘A’, nyata nya enggak.”
Atau begini saja. Mari kita ambil
tengahnya—bukan—negosiasi, apa katanya.
Jelas saya bukan inspirasi. Tapi
katakan saja,
Hanya saya yang mampu.
Menghipnotismu.
Membuatmu kaku.
Kelu.
Terpaku hanya pada satu.
Tak berkata-kata.
Tak bersuara.
Dan wahai pujangga, jelas,
maaf saja,
kau tak mampu lagi rangkaikan kata indah dan diksi
memabukan.
Karena otak mu berhenti.
Malfungsi.
No comments:
Post a Comment