Hujan turun lagi dan artinya Dira harus menunda pulang. Hari
ini cukup melelahkan. Data ini, data itu. Meeting sana , meeting sini. Ketik sana
ketik ini. Book sana book sini. Makan siang yang terburu-buru. Botol minum yang
masih terisi penuh. Dira menghela nafas. Jam 5 sore adalah waktu yang langka
untuk menghela nafas. Karena biasanya, ada saja ‘titipan’ yang mampir. Entah dari
ibu ini atau bapak itu. Urus sana urus sini. Atur ini atur itu. Ada baiknya Dira
menggunakan kesempatan ini untuk sejenak melemaskan otot-otot nya yang memang
letih. Kerja. Namanya juga kerja. Tidak ada yang tak lelah. Semuanya sama,
pasti buat kepala pusing dan otot kaku. Lalu Dira berpikir, akankah mungkin
lelahnya berkurang jika memang dia mencintai pekerjaannya? Apa bedanya? Toh sama
sama kerja juga. Sama sama mengeluarkan keringat dan tenaga. Dan juga menguras
emosi. Namanya juga kerja, cari rejeki. Usaha, pasti ada lelahnya. Atau mungkin
benar ada kurangnya? Kurang lelahnya, maksudnya. Bagaimana kalau Dira benar
mengusahakan dirinya untuk bekerja seperti keinginannya? Jadi pelukis misalnya?
Ah Dira merindukan dirinya dan kanvas dan palet dan cat cat yang membekas tak
hanya di kanvas namun juga di tangannya. Tak pernah menyesal ia mengisi
beberapa tahun dalam hidupnya untuk belajar dan akhirnya menghasilkan gelar sarjana seni
murni. Namun, nampaknya dunia tak teralu menginginkan pelukis. Dunia menginginkan
praktisi—setidaknya Jakarta. Bukannya, Dira tidak bersyukur dengan pekerjaan
yang ia miliki sekarang. Sungguh egois jika demikian, mengingat ada ribuan
orang di luar sana berjuang untuk hanya mendapatkan satu pekerjaan. Bukam,
bukan Dira tidak bersyukur lantas mengutuk
kehidupan. Hanya saja, terkadang, Dira merasa hilang, Berisi namun kosong. Terang tapi gelap. Yakin lalu bingung. Dira mengela nafas lagi dan meneguk air pada botol yang sengaja ia bawa dan isi dari rumah. Hujan sudah
reda, saatnya kembali pulang. Dira rindu kasur kamar tidurnya.
December 27, 2015
July 25, 2015
Dira
Jeritan kecil anak
baru gede menyadarkan Dira dari lamunan atau entah kantuk selepas kerja
sore ini. Metro Mini 610 arah Pondok Labu melaju lambat-lambat menyusuri Jalan
Melawai. Jakarta, seperti biasa, panas, sesak, dan penat. Si empunya badan
hanya menghela nafas dan menggumam dalam pikir. Hidup semakin sepi. Banyak cerita
dan kolega lantas tak membuat hari semakin berwarna. Entah kenapa akhir akhir
ini Dira merasa sepi. Teman yang sebenarnya teman pun ia ragukan. Karena terkadang
sempat mampir di pikiran, apa iya teman adalah teman. Apa iya yang dianggap
juga menganggap? Bagaimana jika semuanya berlawanan arah? Lalu, pada siapa ia
harus mengadu? Karena terkadang Dira takut, bahwa semakin kau tua, bukan waktunya
lagi kau mengadu. Bukan karena urusan kodrati. Hanya saja, memang sudah tidak
ada tempatnya. lalu Dira harus mengangkat semuanya tanpa siapapun, walau
seringnya ia merasa mengangkat milik yang lain. Bukan dipaksa, atau diminta, hanya karena Dira rela. Jakarta
memang hingar, tapi selalu ada yang sepi dan kosong. Karena hidup nyatanya
sendiri sendiri. Metro mini berhenti, dan para ABG pun berhamburan turun dengan
segala kikik tawa yang dibawa. Dira menghela nafas, menutup matanya, dan Metro Mini mulai bergerak
lagi.
July 06, 2015
akhir akhir ini
sudah lama saya tidak menggumam sendirian, mungkin karena kehidupan mulai teralu angkuh untuk dijeda atau mungkin memang saya yang demikian sombong tidak memberikan secelah waktu untuk terdiam dan melihat ke dalam. iya akhir akhir ini memang saya "dituntut" untuk lebih padat pada jadwal.
akhir akhir ini ya begini. sarjana baru. sarjana muda bau kencur. bingung tengok kanan kiri cari cari jalan menuju apalah itu namanya kesuksesan. buat saya, kali ini cukup membingungkan. saya terbiasa dengan tujuan yang jelas dan konkret. kali ini lain, saya semacam harus tanya kanan kiri dan GPS pun nampaknya tak berlaku lagi.
beberapa pilihan memang terpapar. dan akhirnya, saya memilih (atau dipilihkan Tuhan). saya mencoba mendengarkan diri sendiri, mengiyakan kata hati. banyak sih yang menyayangkan dan bahkan mencibir, "ngapain sih nir milih kerja kaya gitu?" tapi ya sudah, hidup toh hidup saya. saya yang menjalani saya yang menanggung sendiri. semoga saya dan yang saya cintai bisa menikmati.
akhir akhir ini memang begitu, orang orang mondar mandir wara wiri. komentar sana komentar sini. unjuk gigi unjuk prestasi unjuk materi. tapi ya ga apa apa juga. namanya juga aktualisasi diri.
pokoknya, buat saya, akhir akhir ini ya gini:
"umur sudah segini, bukan waktunya ikut ikutan lagi."
*dikutip dari Ms Nike, salah satu dosen saya, di sela sela obrol obrol santai tentang rencana hidup. terimakasih banyak, ms.
akhir akhir ini ya begini. sarjana baru. sarjana muda bau kencur. bingung tengok kanan kiri cari cari jalan menuju apalah itu namanya kesuksesan. buat saya, kali ini cukup membingungkan. saya terbiasa dengan tujuan yang jelas dan konkret. kali ini lain, saya semacam harus tanya kanan kiri dan GPS pun nampaknya tak berlaku lagi.
beberapa pilihan memang terpapar. dan akhirnya, saya memilih (atau dipilihkan Tuhan). saya mencoba mendengarkan diri sendiri, mengiyakan kata hati. banyak sih yang menyayangkan dan bahkan mencibir, "ngapain sih nir milih kerja kaya gitu?" tapi ya sudah, hidup toh hidup saya. saya yang menjalani saya yang menanggung sendiri. semoga saya dan yang saya cintai bisa menikmati.
akhir akhir ini memang begitu, orang orang mondar mandir wara wiri. komentar sana komentar sini. unjuk gigi unjuk prestasi unjuk materi. tapi ya ga apa apa juga. namanya juga aktualisasi diri.
pokoknya, buat saya, akhir akhir ini ya gini:
"umur sudah segini, bukan waktunya ikut ikutan lagi."
*dikutip dari Ms Nike, salah satu dosen saya, di sela sela obrol obrol santai tentang rencana hidup. terimakasih banyak, ms.
Subscribe to:
Posts (Atom)