Maaf dan memaafkan itu lumrah bagi setiap orang. Apalagi
momen lebaran kaya gini. Pasti, cuma di mulut aja atau ga, si “minal aidin
walfaidzin” itu selalu mampir di telinga atau mata kita. Bisa dari layar kaca
gadget kita yang deres banget sama pesan-pesan singkat lebaran atau telfon dari
kanan kiri, atau bahkan malah sepanjang jalan yang kita lewati pasti ada aja
tulisan ”mohon maaf lahir batin” itu. Ga salah sih. Sah-sah aja, namanya juga
suasana lebaran.
Kita sering kali
mempersiapkan hati untuk memaafkan. Mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang
lebih ksatria. Menyiapkan hati yang lebih besar dan senyum yang lebih ikhlas.
Membenahi sikap dalam balutan fitri. Untuk siapa? Untuk ibu, ayah, kakak, adik,
sahabat, kekasih, kerabat. Untuk orang lain. Padahal ada orang yang sepantasnya
kita maafkan terlebih dahulu. Jauh lebih penting bahkan dibandingkan saudara
atau ibunda kita sekalipun. Orang yang sangat dekat dengan kita, namun sering
kali luput dari perhatian kita.
Orang itu adalah
diri kita sendiri.
Kebayang gak
berapa kali dalam sehari kamu memikirkan diri kamu? Maksud saya, memperhatikan
bagaimana keadaan tubuh atau pikiran kamu. Memperhatikan kondisi fisik dan
batin kamu. Kebayakan dari kita, teralu sibuk mengejar target dunia. Fokus
kerjaan, atau workaholic istilah
kerennya. Bagus sih. Punya target dalam hidup itu bagus. Mengejar untuk
mendapatkan apa yang kita inginkan juga sangat baik. Tapi, sering ga kita
memperhatikan keadaan diri kita sendiri dalam pengejaran target hidup itu?
Pernah ga kita lalai menjaga diri sendiri, misalnya kesehatan? Pernah ga
mempertaruhkan kondisi diri sendiri atas nama ambisi hidup? Atau contoh gampang nya, pernah ga sakit gara-gara memforsir diri sendiri untuk pekerjaan?
Silahkan jawab
sendiri pertanyaan barusan. Kalau ada saya boleh jawab sendiri sih, jawabannya
SERING. Gara-gara diri saya
sendiri, saya sakit fisik dan sakit hati. Saya sering membiarkan diri saya
larut dalam kepenatan yang saya ciptakan sendiri. Saya sering teralu serakah
kepada diri saya sendiri, menelantarkan kesehatan atas nama pekerjaan atau
tugas. Saya sering mengacuhkan suara hati saya ketika dia menyerukan kata
”tidak!” atau ”berhenti!” ketika saya didera kesedihan lantas menagis tak
karuan. Saya sering membiarkan diri saya terlarut dalam kepedihan yang
semestinya bisa dihetikan oleh diri saya sendiri. Saya sering merajuk,
merengek, mengeluh terhadap diri saya sendiri ketika hasil keadaan tidak
seperti apa yang saya mau.
Teralu sering
saya sombong terhadap diri saya sendiri. Merasa mampu padahal sebenarnya sakit.
Merasa bisa padahal sebenarnya butuh bantuan. Saya ”ditampar” oleh salah satu
sahabat saya yang tiba-tiba melontarkan kalimat:
”Yaudah sih, Nir. Mau sampe
kapan lo nge-dzolimin diri lo sendiri?”
Pertanyan itu
sungguh menyentak, menghentak, dan tertancap di benak saya sampai saat ini.
Teralu sering saya mengutamakan ambisi dan arogansi diri dibandingkan menyadari
batas kemampuan diri saya sendiri. Teralu sering saya berupaya hingga lupa
bahwa diri saya berhak berhenti sejenak dan beristirahat. Teralu sering saya
mengeluh, bukannya bersyukur atas apa yang telah saya capai. Teralu sering saya
terbawa emosi. Teralu serinf saya mendzolimi diri sendiri.
Maka, karena itu
lah saya menulis lampiran kalimat ini. Saya hanya ingin berbagi pendapat, bahwa
sesungguhnya maafkan lah diri sendiri atas segala kesalahan yang telah
dilakukan sebelumnya. Maafkan segala kesombongan yang dengan atau tanpa sengaja
pernah terlontarkan. Jika pernah memiliki penyesalan terhadap kegagalan masa
lalu, terima lah. Maafkan diri dahulu yang pernah khilaf sehingga kegagalan
menyerta. Tak apa pernah menjadi seseorang yang tidak diharapkan oleh diri
sendiri sebelumnya. Tak apa jika hati ini pedih, marah, kecewa terhadap apa
yang pernah dirasakan sebelumnya. Maafkan lah segala perasaan buruk yang dahulu
pernah hinggap di benak dan hati kita. Tak apa menjadi ”diri yang buruk”
sebelumnya. Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia adalah mahkluk pembelajar.
Maafkan. Ikhlaskan.
Minal Aidin Walfaidzin, wahai Jiwa.
Mohon maaf lahir batin :)