Terlihat lagi
paras ayu nya. Sungguh tak kuasa menahan pesona mahkluk Tuhan yang luar biasa
indahnya itu. Sudah lebih dari ratusan bulan aku mengenalnya, tapi tetap saja
aku tak berani mengatakan apa yang sebnarnya pada diri ku ini. Tidak. Dia
teralu indah untuk menangis. Aku hanya takut segala hal yang belum aku
sampaikan padanya hanya membuatnya terus terpaku pada kesedihannya bahkan
lantas pergi meninggalkan aku. Tidak. Aku tidak kuasa menahan rasa bersalah
itu.
Aku adalah
sahabatnya, bukan kekasihnya. Harus ku maklumi batasan itu. Dia menganggapku
sebagai langit tempat dia bernaung dalam hidupnya, sedangkan aku menganggapnya
matahari yang selalu mnyinari hidupku. Sadarkah ia bahwa aku tak mungkin bisa
hidup tanpanya? Mungkin kau akan katakan, aku ini pembual yang berlebihan, tapi
tidak. Ini benar-benar nyata. Pernah sewaktu itu aku tak bertemu dengannya.
Bagai manusia tanpa tulang, ak lemas. Linglung ingin apa. Tak bisa bertegur
sapa ataupun hanya memperhatikan kecantikannya dari kejauhan. Rumpang rasanya hari
tanpanya. Kau tahu? Dengan dengar renyah tawanya saja bisa buat ku melupakan
semua kegelisahan dalam hari ku. Entah itu masalah tugas bertumpuk, urusan
pkerjaan yang tak kunjung selesai, rapat sana sini, genteng kamar kosan yang
tak pernah dibetulkan oleh si empu kosan, atau motorku yang sering ngambek
ketika dia meminta bantuan untuk mengantarnya pulang.
Jika aku bisa
memberikan julukan yang lebih baik dari “ indah”, akan ku lakukan itu.
Sayangnya, aku bukan pujangga yang senang berkata-kata. Aku bukan penyair yang
mampu membuat seluruh alam terpana. Aku pun bukan seseorang lelaki dengan
seluruh kemampuan berbicara ku. Aku hanya seorang lelaki penuh dengan mimpi ku.
Mimpi yang dipenuhi dengan raut gembira dan rona cerianya. Penuh dengan senyum
membingkai wajah nya, semangatnya, dan suara manis nya yang mampu buat ku
bungkam. Demi langit, aku sangat menyayangi satu hawa itu.
Apa kau pernah
merasakan cinta? Apa kau tahu
cinta itu apa?
Entahlah, kata
orang perasaan berdebar ini cinta adanya. Ak tak peduli ini cinta atau bukan.
Yang ku pedulikan hanyalah, aku suka perasaaan ini nyata. Aku suka ketika
rasanya darah seluruhnya mengalir dari otak langsung menuju ujung kaki, berharap
ingin keluar, akau suka rasa pusing kepala ini ketika dia menyapa, aku suka rasa
dingin seakan menusuk organ hati ku ketika dia panggil namaku.
Ada yang bilang
cinta itu pembodohan.
Ya, tragis
memang. Aku terkadang merasa seperti itu. Kurang bodoh apalagi aku? Jelas dia
wanita dengan prianya. Dia sudah ada yang punya. Walaupun ada yang bilang
sebelum ada janur kuning semua kemungkinan itu ada, namun tetap saja aku merasa
kemungkinan itu sudah tak mungkin. Sekali lagi, aku adalah sahabatnya, bukan
kekasihnya. Betapa beruntungnya pria itu mendapatkan seorang wanita secerdas,
setegas, sesabar, selembut, dan secantik dia. Walaupun aku tahu, rasa sayang
pria itu tak sebesar rasa sayangnya. Sungguh ingin aku katakan semua. Tapi,
tidak mungkin aku membiarkan butiran air mata jatuh di paras eloknya? Mencabik lembut hatinya? Tidak. Aku tidak
bisa setega itu. Aku serba salah dan serba bingung. Ingin sekali aku
memperlihatkan kepadanya bahwa pria pilihannya itu tidak tepat untuknya. Tapi,
aku tidak bisa. Itu di luar wilayahku. Di luar kapasitasku.
Sampai akhirnya
hari itupun tiba. Saat dimana aku tidak bisa melawan keadaan. Aku hanya bisa
menyaksikan wanita yang paling kupuja sepanjang masa (selain ibuku) bersanding
dengan pria yang ‘bukan untuk nya’. Sungguh sekarang dia lebih matang, lebih
cantik, lebih mempesona. Dia berjalan perlahan dengan air muka bahagia yang
tidak dapat disembunyikan. Dia selalu melempar senyum pada tiap orang, lebih
–lebih kepadaku. Berhari-hari sebelum pernikahannya, dia selalu menceritakan
detil perasaannya. Rasa senang yang tiada tara. Rasa bahagia yang meluap-luap
beserta cerita cinta dengan lelaki pilihannya. Dari mana meraka bertemu, kapan
si pria menyatakan cinta kepadanya, apa lagu mereka berdua, kemana mereka akan
berbulan madu, dan segala macam lainya. Tidak ada kalimat selain “ aku bahagia,
kau bahagia.”
Ketika dia lelah
dengan semua urusan persiapan pernikahannya, aku orang yang mendengarkan ocehan
nada tinggi nya yang khas di malam hari sampai pagi buta. Dan sekarang aku juga
yang harus menelan ludah melihat semua ini. Aku ingin menangis dengan dalih bahagia,
tapi aku memilih berkutat dengan kameraku, berusaha mencari objek lain. bukan
dia ataupun pria itu.