Sore. Ya sore ini saya terus memandangi langit. Langit dari batasan mata sejauh memandang. Mengerling.
Menatap. Melirik. Entah apapun itu bahasanya yang menunjukan bahwa mata ini sedang mengarah
pada objek. Langit hari ini tampak kosong. Entah mengapa. Padahal hari ini sama
saja seprti biasanya. Ramai. Riuh. Panas. Pengap. Sore di Jakarta pada umumnya.
Dan ini lah saya. Sendiri. Menatap. Duduk di atas tembok pemisah. Menemani
langit. Lucu sebenarnya jika saya bilang saya menemani langit. Karena sesungguhnya,
saya tidak tahu siapa yang menemani siapa. Entah lah, saya tak mahir dalam
berbahasa. Konsep menemani dan ditemani itu samar. Saya tak pandai dalam
merangkai kata-kata Saya hanya terbiasa begini. Menyendiri jika memang tidak
ada yang harus ditemani.
Sebenarnya saya bukan penyendiri. Ketika memang ada seseorang ada menemani.
Ya, terlepas dari konsep menamani dan ditemani yang saya rasa bias, saya memang
bukan penyendiri. Saya dulu berdua. Bersama sahabat saya. Sahabat yang sangat saya cinta. Sahabat yang
selalu menemani sore saya dengan gelak tawa mengenai hal sederhana. Sahabat
yang biasa nya menghiasi sore yang sumpek ini dengan kesegaran cerita bodoh
nya. Sahabat yang tidak hanya untuk berbahagia di sore hari, tapi juga menangis
di malam kelam. Sahabat yang tidak hanya menyadarkan di pagi hari, tapi juga
menyemangati di siang hari.
Awan itu putih keemasan. Seperti biasanya. Sore ini ramai. Seperti
biasanya. Langit masih terang. Seperti biasanya. Tapi tak ada lagi kopi di
sini. Tak ada lagi pisang goreng yang kau beli di pinggir jalan. Tak ada lagi
abu rokok bedebah bertebaran. Tak ada lagi hembusan asap putih menyesakan. Tak ada lagi perdebatan mengenai siapa yang lebih seksi, si merah atau
si putih. Tak ada lagi nyanyian parau itu. Tak ada lagi umpatan tolol itu. Tak
ada lagi lengkingan tawa aneh itu. Tak ada lagi.
Sore ini ramai, seperti biasanya. Tapi ada yang tak biasa. Semilir angin
ini. Kosong.
No comments:
Post a Comment