Bencana Itu Polusi
Delapan tahun yang lalu, kejadian itu terjadi.
Semua manusia di dunia diguncangkan dengan bencana alam terbesar. Mungkin bisa
kukatakan terbesar setelah meteor yang jatuh memusnahkan jutaan, bahkan
miliaran spesies yang saat itu sedang hidup damai dan tenang beberapa juta
tahun yang lalu. Manusia berteriak dan berlarian dari satu tempat ke tempat
lain, mencari perlindungan yang sesungguhnya tak berguna. Bencana ini, mengubah
semua kehidupan mahluk hidup di bumi.
Panas matahari masih saja menusuk walau waktu
sudah menunjukan pukul empat sore. Namun, saat itu Jakarta sedang sedikit sepi.
Para pekerja yang mengais nafkah dari pagi hingga senja belum juga keluar dari
sarang uangnya. Angkutan umum sudah mulai berhenti di terminal dan halte. Tak
jarang pula, ada beberapa yang nakal berhenti di persimpangan dekat lampu
merah, menumpuk hingga kadang membuat pikuk. Asap knalpot kendaraan berlomba
meriuhkan suasana sore itu dengan klakson yang semakin hari semakin bervariasi
suaranya.
Aku sedang berjalan menuju rumahku ketika
seseorang menyapaku dari kejauhan.
“Jon! Tungguin dong sebentar!” suara itu tak asing
di telingaku. Ya, dia adalah Bibi. Mungkin bisa kukatakan dia adalah calon pacarku.
Sudah sejak 4 bulan yang lalu aku berusaha mendekatinya. Dia adalah teman
sekolahku. Walau tidak sekelas, kami sering bertemu ketika kelas usai. Rumahnya
yang juga tak jauh dari rumahku terkadang selalu mendorongku untuk mengajaknya
jalan bareng. Tapi apa daya, tak selamanya teori mudah dipraktikan.
Bibi adalah seorang wanita yang tidak manja,
mungkin bisa kukatakan sama sekali tidak manja. Ia selalu melakukan tanggung
jawabnya sendiri, tak pernah bergantung pada orang lain. Sifat ini yang membuat
aku terkagum-kagum pada dirinya. Selain itu, ketidakmanjaannya ini terkadang
membuat ia selalu terlihat kuat ketika sedang mengalami masalah, padahal aku
tahu tak selamanya ia bisa menyembunyikan kepenatannya. Sifat yang baik akan
lebih menarik jika didukung dengan paras yang cantik. Bibi punya itu. Mukanya
sedikit oval, dengan dua bola mata yang tidak terlalu bulat dan berwarna hitam
pekat tersusun rapi di atas hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis
menghias wajahnya yang tak pernah bosan aku lihat, eehhmm mungkin lebih banyak
aku lirik. Tubuhnya juga tidak terlalu besar, mungkin agak sedikit kecil namun
tetap pas untuk anak seumuran dia.
“Eh iya Bi.” dengan sedikit kaget aku jawab sapaan
Bibi seadanya. Dia berlari dari jauh menyusuri jalan yang hanya muat untuk satu
mobil saja. Rambutnya yang panjang ia biarkan terurai, menari ke kanan dan ke
kiri seiring dia menghentakan kakinya ke tanah.
“Buru-buru banget sih balik dari sekolah. Dicariin ke kelas udah ga ada. Kejar setoran?”
“Haha kejar setoran apaan. Emang lagi mau pulang
cepet aja. Gw males diajakin
nongkrong mulu. Eh
ngomong-ngomong, lo nyariin gw? Tumben banget. Kangen?” tak sadar aku lontarkan
kata ‘kangen’ itu. Aku hampir tak bisa bernafas. Mungkin jantungku berhenti
beberapa detik.
“Kangen ga ya? Iya sih. Emang lagi mau jalan balik
sama lo aja.” Ia jawab pertanyaanku dengan santai sambil menarik nafas
dalam-dalam. Bukan, bukan karena ia gugup seperti aku, tapi kecapean sehabis
lari.
Banyak rumah yang kami lewati sudah mulai terlihat
kosong. Yang aku tahu, penghuninya pindah ke daerah lain untuk menghindari
badai debu yang sempat heboh dibicarakan di televisi oleh media-media swasta
dan pemerintah. Beberapa penghuni yang masih terlihat sedang sibuk mengeluarkan
barang-barangnya. Wajah mereka terlihat setengah panik, juga takut. Aku? Aku
sama sekali tidak panik atau takut. Semenjak ditinggal ayah dan ibu dua tahun
lalu tidak ada alasan untukku untuk meninggalkan rumah warisan mereka. Mereka
mungkin pergi terlalu cepat, ya karena bencana brengsek itu yang tak kunjung
berhenti. Entah itu badai debu atau badai angin. Aku tidak peduli. Mereka
meninggal karenanya dan aku mulai muak mendengar ocehan orang tentang badai
itu.
“Katanya sih sekarang mau ada badai lagi. Dan
katanya juga, kali ini badainya makin parah. Udah semakin banyak pabrik-pabrik
di Jakarta. Tenaga pekerjapun udah ga dibutuhkan lagi karena teknologi robot
sok keren itu. Kemarin Taiwan yang udah lenyap, paling sebentar lagi Indonesia
nih.” Bibi melempar wacana yang sebenernya sama sekali tidak mau aku dengar.
“Ya kan masih katanya. Lagian di berita ngomongnya
tiga bulan lagi kan badainya menuju Jakarta? Kan kita harus percaya sama yang
namanya berita. Mau itu berita boong atau bener. Ga ada yang tau juga. Cuma
Tuhan sama pemerintah dan pengusaha swasta yang nyari duit yang tau. Jadinya
santai ajalah.” aku menjawab sederhana, tak berpikir terlalu banyak.
“Hhmm..bener-bener.”
Aku lirik lagi, kini wajahnya berubah sedikit
panik, aku bisa lihat itu. Ia yang kini tinggal dengan ayahnya saja mungkin mulai
belum bisa melupakan kematian ibunya, yang berbarengan dengan kedua orang
tuaku. Mereka adalah korban-korban dari badai brengsek itu.
Keadaan langit di kejauhan mulai gelap, padahal
ini baru pukul lima sore. Suara ricuh juga mulai terdengar beberapa ratus meter
ke depan dari tempat kita berjalan. Ada apa ini? Apa badainya sudah datang
lebih cepat? Lebih cepat tiga bulan? Tidak mungkin. Atau mungkin? Persetanlah,
aku tidak peduli.
“Jon, kayanya badainya mau dateng deh.” Bibi
terlihat sedih, merasa bersalah mengatakan hal itu padaku. Aku sadar akan hal
itu. Sedari 15 menit yang lalu ia menundukan wajahnya, berusaha mengatakan
sesuatu yang sedari dulu mungkin ia pendam.
“Emang iya? Ah, gpp deh. Kebetulan gw belom bayar
utang, kalo badainya dateng, terus gw mati, utang gw lunas kan, lagian gw udah
gapunya siapa-siapa lagi hahaha.” aku berusaha menghibur Bibi yang telah
meneteskan air mata. Aku tak kuat menanyakan apa yang sedang terjadi padanya,
mungkin tidak tega, atau tidak berani. Aku juga tidak tahu kenapa.
Sesaat setelah aku tertawa, ia palingkan wajahnya
padaku, dan menamparku. Beberapa ratus meter di depan, sudah tidak terdengar
lagi suara ricuh dan jerit-jerit orang yang panik macam ayam kehilangan
kepalanya. Aku kaget setengah mati. Ia menamparku. Wajahnya yang kini telah
ditutupi dengan air mata dan debu-debu masih terlihat manis. Aku tidak sanggup
marah padanya, tidak sanggup membentaknya atau membalas pukulannya. Ia menangis
lebih kencang lagi. Kini kuberanikan diri untuk bertanya.
“Lo kenapa sih, Bi? Tiba-tiba nangis terus nampar
gw.”
“Lo tau apa yang bakal terjadi lima menit lagi? Lo
udah ga dengar suara-suara orang di depan sana kan? Mereka semua udah mati Jon!
Badainya udah masuk ke Jakarta! Liat langit sekarang, masih jam lima sore dan
langit udah gelap. Ini bukan mendung, ini tanda kalo badainya udah ada di atas
kita!”
Aku terhenyak seketika, aku tak bisa berkata
apa-apa. Candaanku sebelumnya terlalu kasar untuk menutup kehidupan kita
berdua.
“Jadi, kita harus gimana Bi?”
Tangannya yang kecil menggenggam tanganku yang
sedari tadi berkeringat karena gugup. Ia tetap menangis, menatapku penuh harap.
Badannya bergetar ketakutan. Ajal akan menjemputnya sebentar lagi. Baju putih
kita mulai kotor ditutupi dengan debu-debu. Ia bergeming kecil, aku tidak
mendengarnya dengan jelas. Aku tanya lagi apa yang ia ingin katakan padaku.
“Gw takut Jon, gw takut. Tolong gw Jon.”
Aku semakin tidak mengerti apa yang ia katakan.
Nafasku mulai sesak. Pandanganku mulai sedikit buram, pendengaranpun semakin
minim. Yang masih aku bisa rasakan adalah genggaman Bibi.
“Jangan tinggalin gw Jon. Gw..gw sayang sama
lo...”
Aku melihat Bibi terjatuh ke tanah. Sudah tak
bernyawa. Lalu semua gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku jatuh bersama
Bibi, masih menggenggam tangannya. Aku sudah tidak bernafas. Badanku dingin dan
lemas, tidak bisa bergerak. Yang aku rasakan hanya genggaman Bibi, hingga aku
tertidur, dalam waktu yang panjang.
Angga Nugraha, 2012
No comments:
Post a Comment