Namanya Pijar. Bercahaya seperti namanya. Perempuan berkulit
putih bersih, berambut hitam panjang bergelombang sebahu, bermata bulat kecil
apik, berbulu mata lentik dengan bias pewarna kelopak mata yang sengaja kau
kenakan. Bibir merah terkena gincu.
Pipi merah hasil perona itu. Tak usah semestinya kau gunakan semua itu. Karena
wajah mu memiliki warna nya sendiri. Aura mu mempunyai cahaya nya sendiri. Tak heran mengapa ibu mu menamai mu
demikian, Pijar. Mungkin karena ketika kau lahir ke dunia, pertama kali kau
membuka mata, sebagian dari cahaya nirwana kau serap dalam tubuh mungilmu, dan
kau bawa ke dunia. Dan kau tunjukan sekerlip lewat matamu, segelintir pada bahu
dan leher jenjang mu pinggul mu, dan pasti wajah mu. Setiap lekuk tubuhmu
adalah keindahan. Seakan tiap mahkluk surga berkumpul, berkonspirasi, menemukan
ramuan tepat untuk menyempurnakan sosok mu. Seakan Tuhan pun tak cukup baik
menciptakanmu.
Ku sebut namamu
Pijar. Ibumu memanggilmu ’Nduk’. Tapi
mereka menamakan mu lain. Sandra. Entah. Kata mu itu lebih komersil. Lebih Hollywood. Lebih menggoda. Aku mengerti.
Kau harus melakukannya demi pekerjaan mu. Pekerjaan yang kau pilih atas nama
himpitan pemuasan kebutuhan. Kota ini kejam. Kota ini membunuh. Kota ini
titisan neraka. Kita semua tahu, semua usaha dibutuhkan jika kau ingin bertahan
di taman seperempat neraka ini. Dan karena itu, sudah sedari tubuh mu memulai
lekuk pertama nya, rencana akan pekerjaan itu muncul. Kau mengerti benar indah
diri mu. Kau paham betul parasmu dan tubuh mu. Kau sadar tawa mu bermelodi. Lantas,
kau upayakan semua demi menyambung nafas di belantara beton ini. Demi makan.
Demi hidup. ”Demi ibu,” ujar mu.
Malam itu kita
bertemu, Pijar. Setelah sekian lama aku menunggu mu. Kau datang dengan seluruh
harum wangi tubuh dan gemerlap diri yang kau punya. Bintang kala itu punya
saingan. Dan mereka bukan pemenang. Kau mendekat, menarik kursi dan duduk di
depan ku, lantas bertanya kabar hidupku. Ku jawab dan kita melanjutkan
percakapan yang berawal dari basa basi itu dengan gelak tawa. Suara mu masih
sama, nyaring manja. Tawa mu masih renyah berirama. Dan mata itu, jelas
cemerlang. Dengan atau tanpa riasan yang kau kenakan. Aku tahu itu. Aku
pengagummu sedari kita bermain di selokan dekat jembatan. Percakapan terus
mengalir. Kau katakan, dirimu tak pernah sebahagia ini. Hidup mu berubah. Ibumu
tak lagi tinggal di perumahan penuh padat senggol pantat. Beliau tinggal di
rumah komplek dua ratus jutaan dengan kavling atas nama pribadi. Kesehatan nya
sudah diinvestasikan. Ada dua pembantu menemaninya. Sedangkan, kau tinggal di
kamar apartemen. Tempat tinggal yang dulu sempat kita impikan sama sama. Kita
membayangkan bagaimana rasanya tinggal di atas awan. Di tempat itu. Di atas. Di
tempat yang dulu kita pun sulit untuk mengejanya. Di sebuah kamar yang harga
nya sanggup menghidupi kampung senggol pantat kita selama seratus tahun, ujar
mu seadanya sambil mengikik dulu. Sekarang, kau tinggal di sana, Pijar. Kau
dengan pasangan mu. Bukan suami mu, bukan tunangan mu, bukan kekasihmu.
Pelanggan mu. Setidaknya itu yang mungkin bisa aku simpulkan dari percakapan
ini. Karena kau tak pernah mendambakan ikatan suci. Kau tak menimpikan cinta
sejati. Bagi mu, asmara dua kali seminggu cukup. Asal dana tiap bulan lancar. Kau
hanya datang bila diminta, kau juga menghilang jika diperlukan. Dan itu memang
diperlukan. Kau tak ingin istri dari pelangganmu yang pejabat itu tahu dan
menghabisi mu. Menjambak rambut indahmu, menampar wajah jelita mu, atau bahkan
mengoyak bibir merah mu, atau mencabik tubuh indah mu menjadi dua belas bagian,
dan memburai usus mu. Mungkin juga bukan diri nya yang melakukannya, tapi orang
lain, yang dibayarnya. Entahlah, dan kau hanya tertawa dan berkata ”Sudah
biasa,” menanggapi banyolan ku yang sebenarnya tak lucu. Kau tak peduli. Kau
hanya ingin kau tertawa, bahagia, penuh.
Pagi ini aku ke
rumah ibu mu. Beliau masih seperti dulu. Cantik sederhana. Sering ku bayangkan
dirimu akan nampak persis seperti beliau tiga puluh tahun lagi. Rona ibumu
selalu ramah. Senyum keibuan itu mengantarkan ku masuk ke rumah pemberian diri
mu. Kau benar, rumah itu seperti rumah impian ibu mu. Bersih, sejuk, apik
dengan taman belakang yang luas lengkap dengan kolam ikan. Ibu mu terlihat
sehat. Investasi kesehatan itu ternyata bukan omong kosong. Ternyata tak hanya
dirimu yang bahagia, ibu mu juga. Beliau katakan, beliau akan lebih bahagia
jika kau tinggal bersama nya, bukan hanya dengan barang dan uang tiap bulan
yang kau titipkan di bank lewat mesin sebesar kulkas dua pintu itu. Ibu mu
merindukan mu, Pijar. Beliau menyayangkan mengapa kau harus bekerja begitu jauh
di Surabaya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku menyimpan semua cerita hidup
mu. Kisah itu bukan untuk perempuan tulus bersih ini. Kemudian beliau bercerita
betapa bangga nya memiliki putri sukses seperti kau. Sekertaris yang aktif
melanglang buana. Kesana kemari mencari pengalaman. Pulang pergi negeri orang.
Aku cukup mendengarkannya hingga aku tak tahan dan ternyata waktu berjalan
cepat dan aku mulai ketinggalan hari. Aku berpamitan kepada ibumu dan
mengatakan aku akan menemuimu esok. Ibumu senang bukan kepalang. Beliau berlari
kecil ke dalam rumah dan kembali dengan wajah dan air muka yang berseri,
memberikan sebuah kotak merah kecil manis, berisi kalung liontin mutiara.
”Titip buat Pijar ya, Nak. Ibu pengen dia yang simpen. Bilangin dia, cepet
pulang.” bisiknya lirih tambah senyum. Aku melihat getir rindu di ujung
matanya. Aku genggam titipan itu dan menyampaikan salam pamit.
Bergegas ku ke
apartemen mu. Lantai lima belas. Cukup tinggi untuk mewujudkan mimpi ”tidur di
awan” mu itu. Aku masih menggenggam titipan. Tak perlu ku menekan bel pintu,
langkah terakhir ku menuju ke kamarmu, pintu itu terbuka. Kau dengan handuk
basah di kepala mu. Kaos
putih polos dan celana pendek merah jambu. ”Apa kabar, Sandra?” “Aku Pijar,
bodoh.” Katamu sambil menoyor kepala ku. Aku hanya mendengus kesal sambil tersenyum
kecil. Apa yang bisa aku lakukan, Pijar—um maksud ku Sandra, apapun yang kau
lakukan kepadaku, selalu mengundang kupu-kupu di perut. Koreksi. Tak hanya perut, tapi menyebar di tiap
denyut. Kau mengajak ku masuk dan aku duduk di sofa panjang besar di ruang
tengah istana awan kecil mu. Kau menyeduhkan teh sambil bersenandung lirih.
Senandung yang ku kenal jelas. Senandung yang dari kecil kau dengungkan.
Senandung yang ibu mu selalu merdukan tiap kau hendak terlelap semenjak kau
curi indah surga dan kau bawa ke dunia. Senandung yang sama. Terbayang semua
kenangan masa kecil kita yang jorok. Anak selokan, anak layangan, anak ingusan,
anak kampung. Kembali semua ingatan tentang kepangan rambutmu, raut wajah mu
ketika kau menangis karena ayah mu tak jadi membelikan mu kunciran rambut baru.
Kau berhenti bersenandung, menatap ke arahku dan tersenyum. Senyum manis yang
membentuk lesung di pipi mu itu. Pipi merona yang dulu pernah ku kecup
malu-malu saat kau tidur di rumah ku karena teralu letih bermain layangan sore
itu. Kau begitu cantik waktu itu, dan hari ini kau lebih cantik dari biasanya.
Kali ini kau Pijar, bukan Sandra. Kau bersenandung lagi, mengingatkan ku pada
ibumu. Ah iya, ibu mu dan titipan nya. Maafkan aku, Pijar. Aku kesini
menggenggam titipan, tapi bukan dari ibu mu. Titipan dari klien ku. Seorang ibu
juga, ibu dari tiga anak yang ayah nya berselingkuh dengan perempuan muda
bernama Sandra. Tapi dia memanggil nya Sundal, bukan Sandra. Maafkan aku, Pijar. Aku kesini bukan untuk
mengantarkan titipan ibu mu, tapi ibu yang lain. Maafkan aku, Pijar. Tak dari
dahulu saja aku mencari mu dan meminta mu untuk hidup bersama ku, tentu ibumu
boleh ikut serta. Aku menyayangi mu dari dulu, Pijar. Kali ini aku datang, tapi
bukan untuk meminangmu. Maafkan aku, Pijar. Aku disini, hari ini, untuk
membunuhmu.
No comments:
Post a Comment