Cerita ini datang sesaat setelah saya sampai di kamar kosan
saya yang berukuran 3x2 meter, bercat pink muda, dengan perabot seadanya, dan
terletak pada gang Kober, Depok—baiklah, saya sudahi cerita tentang kamar kosan
saya—hari itu panas, dan saya baru pulang dari kampus.
Berada di kosan
kurang dari jam 4 sore itu adalah suatu keajaiban untuk saya. Bukannya saya
melebih-lebihkan, hanya saja saya memang sempat mengikuti beberapa kegiatan
yang sedikit banyak membutuhkan waktu lebih di luar jam kuliah saya yang juga
sangat padat. Ya, sudahlah, atas nama almamater, saya pun menjalani dua
kegiatan yang cukup membutuhkan komitmen itu, yaitu kuliah dan kepanitiaan.
Pada awalnya, saya memang menyukai kedua hal itu—ralat, saya lebih suka
kepanitiaan itu, karena saya tidak suka berada di kelas dan belajar—sehingga
apapun deadline yang diberikan dari kepanitiaan itu akan saya kerjakan dan
malah, diutamakan. Namun, setelah beberapa lama berkutat pada pekerjaan ”atas
nama almamater” itu, kasur di kosan pun menjadi sesuatu yang mulai saya
rindukan.
Betapa saya rindu
”leyeh-leyeh” di kosan, bercanda-canda sesama anak kosan, mempunyai waktu
senggang untuk mengerjakan tugas, dan mempunyai waktu untuk diri saya
sendiri.....
Inilah beberapa
hal yang berbeda ketika saya masih menjalani pkerjaan ”atas nama almamater” itu
dan setelah saya menyelesaikan pekerjaan itu.
Ketika saya pada fase
”sangat aktif” memang keadaan nya sungguh menyenangkan. Semangat yang selalu
ada, otak yang selalu bekerja, gerak yang dinamis, hal-hal baru, pelajaran
baru, seperti ada yang membara di jiwa saya. Hidup yang ’muda’, aktif, dan
partipasif.
Hal itu baik,
sungguh baik. Hanya saja, ada yang saya lupa. Saya lupa untuk memberikan
’nafas’ pada kehidupan saya. Maksud disini, saya berkerja, bekerja, bekerja,
bergerak, bergerak, bergerak. Hidup yang cukup sesak. Saya lupa, tubuh ini
bukanlah robot. Dia hidup. Dia butuh ruang luas. Dia butuh jeda.
Sering sekali dia
mulai merengek, minta diperhatikan. Tapi, memang diri ini egois. Tak indahkan,
tak peduli. Saya asyik dengan semua adrenalin yang berasal dari tekanan luar. Karena
saya mau hidup yang muda, hidup yang penuh gelora.
Sekali lagi dia
merengek, mulai terseok, mulai melemah. Tapi diri ini ambisius. Tak menoleh,
tak peduli. Berburu pengalaman, berkutat pada teka-teki masalah luar dan
target-target. Karena saya mau hidup yang muda, hidup yang bergelora.
Berkali-kali dia
mencoba mengingatkan, saya tetap tak peduli. Sampai akhirnya, saya sakit.
Terkapar di rumah sakit. Semacam ganti oli atau turun mesin atau apalah jika
dianalogikan kepada motor atau mobil.
Pada saat itu,
saya mulai berpikir apa yang salah.
Yang salah adalah
saya yang egois.
Egois terhadap
saya sendiri.
Sungguh, jika
saya bisa memberikan sesuatu benda untuk menyampaikan permintaan maaf saya
kepada tubuh saya, saya akan berikan.
Tapi, ya sudah,
setidaknya si tubuh sudah memberikan saya ‘ganjaran’ berupa rasa sakit yang
sungguh tidak nyaman.
Cukup adil untuk
saya.
Dan sekarang,
inilah saya. Berbaring diatas kasur yang saya cintai, mengetik cerita ini di
kamar kosan saya yang sederhana, ditemani dengan sepoi-sepoi angin dari kipas
angin yang belum saya cuci. Saya di pukul 4 sore. Saya yang sedang ‘bernafas’.
Memberikan jeda
untuk teman saya yang selalu setia menemani saya dalam ambisi “hidup muda”.
Memberikan ruang
setelah beberapa kali terhimpit desakan keadaaan luar.
Memberikan
semacam kebebasan untuk sekedar melakukan hal-hal ringan tanpa beban.
Memberikan waktu
untuk mengumpulkan kembali energi dan semangat muda yang seharusnya tetap ada.
Memberikan
”liburan” sampai saya siap kembali menjalani kehidupan bergelora itu.
Bukannya saya
bermaksud mengatakan bahwa kegiatan di luar kampus itu sesuatu yang
menyusahkan, tidak, tidak sama sekali. Kali ini saya hanya ingin menekankan
betapa rindu nya saya dengan ”waktu untuk saya” sendiri.
Mungkin jika ada
beberapa dari kalian yang menganggap saya melebih-lebihkan atau manja. Tak apa
karena saya yakin, kegiatan saya yang secuil itu belum ada apa-apanya. Namun,
yang saya maksudkan disini adalah betapa terkadang kita harus memberikan
apresiasi terhadap diri sendiri.
Sehingga semuanya
seimbang. Berjalan lapang dalam hidup yang sesak J
No comments:
Post a Comment