Pembelajaran itu bisa berasal darimana saja.
Kalimat itu mungkin paling tepat untuk menggambarkan cerita saya.
Saya dan pembelajaran baru tentang hidup.
Hari itu hujan deras, sangat deras.
Dan saya harus ke kampus.
Demi apapun di dunia ini,
Akan saya lakukan untuk tidak menggerakkan tubuh saya menuju kampus yang semestinya saya cintai itu.
Tapi, mengingat nominal yang harus dikeluarkan kakak dan orang tua saya demi masa depan itu,
Saya pun berangkat.
Selama perjalanan, saya menggerutu.
“Kenapa, sih pake ujan?”
“Kenapa, sih ada kuliah pengganti?”
“Kenapa, sih kosan jauh?”
“Kenapa ga panas aja, sih?”
“Gara-gara ujan nih, sepatu gw kotor.”
“Gara-gara ujan nih, baju gw lepek.”
“Gara-gara kuliah pengganti nih, gw jadi gbs pulang cepet.”
Terus saya berjalan sambil mencaci keadaaan.
Dan ketika saya sampai kampus.
“Nir, ga jadi ada kuliah pengganti hari ini.”
Detik itu juga,
Ingin saya bakar almamater itu.
Merasa tak ada pilihan, akhirnya saya pun pulang.
Dan pembelajaran itu pun dimulai.
Terdapat 2 bocah pengamen tak jauh dari tempat saya duduk.
Mereka berbincang,
Saya pun curi dengar .
Intinya mereka membicarakan temannya yang sering sekali mengeluh. Susah sekali untuk diajak kerja, ngamen maksudnya. Si temennya itu sering sekali mengeluh tentang keadaan. Ya becek lah, ya hujan lah, ya panas lah, ya bga banyak orang ga dengerin lah kalo kereta sepi dan apapun yang akhir nya membuat dia malas untuk berangkat ngamen. Terus saya dengarkan percakapan mereka hingga si dua bocah itu melontarkan kalimat santai namun mengena untuk saya.
”Dia mah gt ga bersyukur, dikasih ujan minta panas, dikasih panas minta ujan. Kudunya mah hadepin aj, ya ga, tong?”
”Iya, dpikir dunia punya dia kali ya? Mau semua nurutin dia, dikata hidup sempurna kali ya buat dia?”
”Hahahahaha, bener tuh. kan kaga ad yang sempurna ya, tong. Seimbang-seimbang ajelah.”
Kalimat terakhir.
Ya, kalimat terakhir itu pelajarannya.
Tak ada yang sempurna, tapi seimbang.
Saya ingat umpatan saya tadi.
Betapa piciknya saya.
Betapa lemahnya saya.
Betapa tidak bijaksananya saya.
Betapa malunya saya kepada 2 bocah pengamen tadi.
Banyak dari kita yang hanya menginginkan semua terjadi seperti apa yang kita inginkan.
Bukan membiarkan semua terjadi semestinya.
Ketika hal datang dan kita tidak menghendakinya,
Lantas kita mengumpat,
Mencaci, bahkan marah pada kehidupan.
Merasa Tuhan tidak adil.
Tidak ada yang sempurna, kawan.
Bukankah ketika saya tidak menginginkan hujan,
Masih ada kawan lain yang sangat membutuhkannya?
Pasti selalu ada alasan baik di tiap keadaan, bahkan dalam keaadan sulit sekalipun.
Itulah seimbang, kawan.
Ketika hal ‘buruk’ datang,
Bukankah lebih baik kita tersenyum?
Mengikhlaskan semua terjadi semestinya
Bersyukur Tuhan masih mau mengingatkan kita
Ketika kita hanya mengharapkan kesempurnaan,
Hanya letih yang akan kita dapatkan.
Karena kita akan terus mencari, mencari, dan mencari.
Seperti sifat dasar,
Manusia tidak akan pernah puas.
Dan biasanya, sikap tak pernah puas itu berujung pada titik tidak bersyukur.
Ketika kita menghendaki keseimbangan hidup,
Maka apapun yang terjadi di hidup kita akan jauh lebih menyenangkan.
Karena kita membiarkan alam bekerja dengan semestinya.
Kita akan jauh lebih ikhlas.
Kita akan lebih lebih tenang, sekalipun kita sudah melakukan kesalahan dan harus memperbaikinya.
Ketika kita ikhlas, hal baik pun akan datang seiring jalan.
Itulah sebabnya, saya lebih setuju dengan ide seimbang daripada sempurna.
Mungkin, saya tidak begitu baik dalam bercerita atau bahkan cerita ini terasa sungguh membosankan dan membingungkan.
Tapi, niat saya hanya berbagi.
Itu saja.
Semoga kita bisa menjadi manusia yang lebih baik dan lebih seimbang
No comments:
Post a Comment