Tuhan terkadang
lucu. Selalu punya cara untuk mengingatkan umat-Nya. Akhir-akhir ini saya muak
dengan dunia perkuliahan saya. Seakan-akan hidup saya dihabiskan untuk bangun,
siap-siap ke kampus, masuk kelas, mencatat materi dosen atau tertidur di kelas,
keluar kelas, mengurusi beberapa hal diluar perkulihan, bicara ngalor-ngidul
bersama teman saya, pulang ke kosan, mengerjakan tugas, tidur dan bangun
keesokan pagi nya dengan aktifitas yang kurang lebih sama. Jujur saja, saya
mulai bosan dengan jadwal hidup yang seperti itu. Saya beberapa kali mengeluh
kepada beberapa orang dekat atau seringkali mengeluh di dalam hati mengenai
datar nya kehidupan perkuliahan saya akhir-akhir ini. Monoton, bisa dikatakan
demikian. Saya lantas mengeluhkan keadaan ”kenapa sih gue mesti kuliah di
Depok? Ga ada apa-apa. Ngebosenin. Kenapa ga di Jogja atau Bandung deh paling
ga? Gue pasti ga akan bosen.” Lucunya, semua kesinisan saya mengenai hidup
dewasa ini seakan dibalas oleh Tuhan dengan cara yang cukup sederhana.
Hari ini entah
kenapa migrain saya tak kunjung reda. Padahal malam sebelumnya, saya sudah
minum obat penghilang rasa sakit yang paling ampuh yang biasa saya minum dan
saya juga sudah tidur lebih cepat, namun apa daya, si pusing masih betah di
kepala saya. Hari ini pula jadwal kuliah saya sedang kosong. Dugaan sementara
saya, kebosanan pasti akan melanda saya dengan migrain, jadwal kuliah kosong,
dan kosan yang tak kalah kosongnya. Karena hal tersebut saya memutuskan untuk
pergi ke bank untuk menabung dan mencari udara segar. Lantas saya pun menuju
bank yang letaknya di dalam kawasan kampus saya. Rupanya, ketika naik bikun,
saya turun di halte yang salah. Saya turun di halte Balairung, bukan di halte
MUI. Artinya, saya harus memutar lebih jauh karena jalan tembusan Balairung-Perpus
pusat (bank itu ada di dalam gedung perpus) ditutup selama masa renovasi
Balairung berjalan. Jadilah saya mengambil rute memutar Balairung.
Saya berjalan
perlahan sambil menikmati angin yang memang berhembus sepoi-sepoi. Ketika
berjalan, saya menoleh ke kanan, Balairung, tempat mimpi-mimpi saya mulai makin
merekah dan bertumbuh. Lucu sekali, mengingat beberapa tahun lalu ketika saya
pertama kalinya merasakan debar yang luar biasa untuk bisa menjadi seperti saya
yang sekarang, mahasiswa. Mengingat saya, Nirma 17 tahun, memiliki semua
manisnya dan gelora mimpi untuk menjadi saya masa kini. Pada masa itu, Bedah
Kampus UI 2008, Nirma 17 tahun tanpa ragu melemparkan pertanyaan-pertanyaan
seputar bagaimana itu kehidupan kampus. Mulai dari macam-macam mata kuliah,
cara belajar, perbedaan antara kuliah dan sekolah, prospek kerja lulusan, bla
bla bla bla bla bla bla. Sungguh haus akan gambaran pernak-pernik perkuliahan.
Betapa ”muda” jiwa saya waktu itu. Tidak takut akan mimpi-mimpi saya. Tidak
ragu dengan segala kemungkinan yang ada dalam usaha mencapai tujuan saya.
Langkah perlahan
saya lanjutkan, dan pikiran saya melayang pada masa awal-awal saya diterima di
universitas impian saya ini. Ya, pendaftaran ulang. Saya ingat, di gedung samping rektorat itu, dengan
setia ibu dan ayah saya menemani saya untuk mendaftar ulang. Mungkin, hal ini
terasa sepele, tapi di mata saya, hal ini sungguh tak tergantikan. Hari dimana
kau bisa melihat dengan jelas rona bangga ibu mu walaupun guratan kelelahan tak
dapat ditutupi dari wajah nya yang teduh. Begitu juga ayah saya, betapa kau
merasakan lembutnya tatapan dari seorang ayah yang kuat dan tegas. Hal seperti
itu sungguh tak ternilai. Membuat orang tua bangga adalah hal yang paling
menakjubkan yang bisa kau lakukan dalam hidup.
Kemudian, pikiran
saya kembali ke hari ini.
Sejenak saya
terdiam,
Lantas saya
tersenyum,
”I’m sorry, God. I screwed up my self.”
Tuhan cukup memberikan saya migrain berkepanjangan, jadwal
kuliah yang kosong, niatan menabung, bikun yang salah, dan angin sepoi-sepoi
untuk mengingatkan saya,
Menyindir saya,
Memberikan sentilan.
Betapa
sesungguhnya, hidup saya sangat indah dengan segala prosesnya
Betapa
seharusnya, saya mengeha nafas dan senantiasa bersyukur
Betapa
semestinya, saya bisa lebih kuat melawan kepenatan yang manusiawi ini karena,
Betapa
sesungguhnya, Dia telah banyak memberikan apa yang telah saya impikan, yaitu
Saya saat ini.
Kalau saja Tuhan
itu teman sebaya saya, pasti saya sudah berkata,
”Sialan lo, Han.
Bisa aja nyindir gue,”
Sandiningtias, 29 Desember 2011
Perpustakaan Pusat UI, bilik meja belajar
ke-4, kursi kiri, 12:42
Oke juga ni tulisan... :D
ReplyDeletehaha makasih mas :)
ReplyDelete