November 21, 2013

Jam 6 Sampai Jam 8 Pagi


Menyenangkan bagi saya adalah jam 6 sampai jam 8 pagi. Ketika pagi masih cukup remaja, tak teralu muda, tak teralu renta. Ketika hidup masih baru dan manusia memaksa bangun terkantuk-kantuk. Ketika orang orang mulai hari dengan segelas teh manis dan sepiring nasi, atau seporsi roti lengkap dengan selai atau mentega atau keju di tengah nya, atau hanya segelas air, atau hanya sesederhana segenggam doa pada ibadah pagi muda.

Menyenangkan adalah jam 6 sampai jam 8 pagi. Ketika udara masih tak teralu kejam, terhirup masuk ke paru-paru, dan oksigen masih ramah merasuk ke sel darah. Ketika matahari masih bergerak malu mempersiapkan energi penuh di terik kemudian. Ketika embun masih sudi mampir diatas rumput, menemani suara burung berkicau yang mungkin sebenarnya juga lapar dan ingin makan, atau pergi bekerja, seperti manusia. Ketika manusia mulai mau tak mau bergerak demi menghidupkan hari, demi hidup sendiri. Ketika anak anak merengek tak ingin mandi dan bersekolah sementara sang ibu tak ambil pusing mengguyur si anak dengan segayung air.

Ada yang menyenangkan dari jam 6 sampai jam 8 pagi. Saat lantai masih cukup dingin untuk dipijak. Saat selimut masih mungkin melekat. Saat kantuk masih tak mau beranjak. Namun realita sudah merengek mengajak.

Ada yang selalu menyenangkan dari jam 6 sampai jam 8 pagi. Saat kau masih terlelap dengan wajah letih itu. Saat kau terbaring tak sadar dengan posisi sesuka mu, tangan di kepala, kaki tersandar pada dinding, selimut disamping telinga, dan badan tertindih guling. Saat kau enggan terbangun dan tetap hidup dalam mimpi walau surya pagi mengintip dari celah jendela.
  
Menyenangkan bagi saya adalah jam 6 sampai jam 8 pagi. Saat saya mengingat kembali semua gambaran itu. Kau, dan apapun yang kau lakukan dari jam 6 sampai jam 8 pagi.

November 12, 2013

Arogansi


Sempat  ada waktu perih timbul, sesak membengkak, dan iri menyembul pada setiap kata, baris, bahkan jeda yang kau tata pada koma. Tentang mereka. Siapapun mereka, apa warnanya, dan bagaimanapun kau wujudkan dalam imaji. Manis, pahit, pedih, melambung, menyentuh, tipikal jatuh cinta.
Hingga kau mengalungkan nama baru di dada mu, “pujangga,” kata mereka.
Sempat ada waktu logika mengerjakan tugasnya. Membandingkan. Mencocokan antara perkataan yang terucap dan kenyataan yang terpampang. Mengoreksi, nampaknya. Pada akhirnya, kotak logika menyimpulkan korelasi nihil adanya.
“Katanya ‘A’, nyata nya enggak.”
Atau begini saja. Mari kita ambil tengahnya—bukan—negosiasi, apa katanya.
Jelas saya bukan inspirasi. Tapi katakan saja,

Hanya saya yang mampu.

Menghipnotismu.
Membuatmu kaku.
Kelu.
Terpaku hanya pada satu.
Tak berkata-kata.
Tak bersuara.
Dan wahai pujangga, jelas,  maaf saja,
kau tak mampu lagi rangkaikan kata indah dan diksi memabukan.

Karena otak mu berhenti.
Malfungsi.