November 27, 2014

Surat Kepada Bujang

Selamat malam, Bujang.

Apa kabar? Surat mu kemarin sudah ku terima. Iya, Jang, hidup memang sudah berbeda sekarang. Sama seperti diriku.

Aku merasa ada yang salah. Aku selalu melakukan salah. Dan selalu merasa bersalah karenanya. Walaupun orang bilang tidak ada yang salah. Tapi bagaimana kau tidak merasa bersalah ketika yang dihadapkan dengan mu adalah semua hal yang benar, tidak ada cacatnya, tidak pernah salah? Lalu, kau anggap apa dirimu, Jang, jika kau berada di kaki ku?

Aku ingat terakhir kali kau katakan kepada ku bahwa aku harus selalu belajar. Belajar berdamai dengan diri sendiri. Menerima kesalahan. Memaafkan diri sendiri. Dan mulai bergerak maju. Belajar dari kesalahan dengan tidak mengulanginya. Tapi, rasanya lain, Jang, disini. Seakan semuanya tak cukup. Ada saja cacatnya. Mereka bilang, sih, tak mengapa, seperti biasa. Tapi, hati ku mengatakan lain, Jang. Rasanya ada yang mengganjal. Karena jujur saja, disini segalanya menghimpit, memojokan, perlahan dan tidak kentara.

Menurutmu, baiknya aku bagaimana, Jang?

Jang, datanglah ke kota ku. Aku mulai hilang arah, Jang. Bantu aku. Seperti dulu kau mengajari ku bagaimana mengendarai sepeda atau menerbangkan layangan berserta manuver liukan mengelak jebakan tiang listrik yang menjebak layangan lima ratus perak kita. Aku rasanya mau membelah diri saja kalau begini caranya, Jang. Membiarkan setengah dan setengah diri ku melakukan kesalahan dan kebaikan masing-masing. Terpisah. Agar tak tercampur. Agar aku bisa dengan mudah nya  melihat,

Mana tahu, aku bisa melakukan kebaikan juga.



November 12, 2014

Surat Untuk Gadis

Hai Gadis,
Apa kabar? Sudah lama tak jumpa dan mengobrol seperti biasa. Lama sekali. Waktu sungguh cepat berlalu, ia tak lagi merangkak seperti masa muda dulu. Ia sekarang lebih kekar dan lincah, sudah mampu melaju pesat, berlari tanpa tengok kanan kiri.

Apa kabar, Gadis? Rindu rasanya tak berbincang. Membahas hal hal sepele yang seenak jidat masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Mencibir kejadian yang sebenarnya lumrah mampir di pagi hari. Mencaci siang karena panas nya matahari. Mengutuk malam yang selalu datang bersamaan gelap. Atau menerawang bodoh tentang masa depan. Apa dan jadi apa. Mengapa dan jawabannya. Tak perlu ada fakta. Tak perlu serius. Karena hidup adalah apa adanya.

Hidup di sini cukup berbeda, Gadis. Tak tahu bagaimana hidup mu di sana. Di sini, semua berlarian, semua berkejaran. Dengan orang lain, diri sendiri, dan waktu. Iya. Waktu yang semakin dewasa. Semua nya berkompetisi. Tinggal saya di sini yang mulai kebingungan. Tertatih tatih mencari celah. Ingin sekali rasanya saya juga ikut berlari. Berlari mengejar atau berlari menginggalkan mereka. Rasanya mereka tak pernah berhenti, Dis. Ada yang pernah bilang bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang selalu jalan—berlari—ke depan. Tanpa menoleh ke belakang. Lurus. Fokus. Apa iya, Dis? Apa benar? Saya pernah kali melakukan nya, terus lurus ke depan. Tapi mungkin pertanyaannya, apa saya benar benar lurus fokus? Atau sebenarnya saya tidak berlari seperti mereka namun saya hanya berjalan? Berjalan melewati hari? Apa saya salah berjalan dan tidak berlari seperti yang lain? kenapa saya merasa bersalah karena tidak ikut berlari?

Saya mulai letih, Gadis. Entah karena saya letih untuk berlari lagi atau saya mulai letih berjalan kaki.

Begitulah, Dis. Sekarang kehidupan mulai lain, ya? Hidup bukan lagi sekedarnya. Banyak yang bilang hidup itu harus bermakna. Yang mana sih yang bermakna? Sampai sekarang saya pun masih belum tahu jawabannya. Masih belum paham. Mungkin ini sebabnya saya rindu kamu, Gadis. Kapan lagi kita berbincang?



November 09, 2014

karena pagi telah datang dari sepi
menyibak hari dengan terang tak bertepi
siap menari dan merona

terang tak bertepi merasuk diri
sisi ruang batin yang hampa merindu pagi
mewujudkan keinginan untuk kembali berlari

kembali berlari bukan menghindar
mencari jejak yang berharap
dengan setitik embun dan senyum
mengejar harap yang kau tenun

embun dan senyum berkait berpadu
menciptakan kebahagiaan di bawah mentari
menyanjung dengan selamat pagi
karena pagi telah datang dari sepi

aku cinta kamu, peri pagiku.

(A)