January 29, 2013


Tahanlah wahai waktu. Jaga detik ini biar tak berlari. Tak usah ada kejutan esok hari. Karena itu semua tak perlu lagi. Cukup kali ini.
Jika kau tak sengaja melangkah, mundurlah.
Kali ini kau tak usah tepat, waktu. Karena hanya sekarang yang diminta.
Ada sungging senyum di kanvas putih. Bukan jawaban. Bukan pertanyaan dan pernyataan. Hanya bayang terekam dan hela nafas panjang dari tiap debar teredam.
Jika kau berbatas, waktu. Hentikan saja disini. Tak usah kau buang peluh kesana.
Karena yang diminta kali ini.
Saat ini.

Semoga Surat Ini Sampai


Selalu ada rasa terselip untuknya. Tersimpan rapi rapat di ujung hari. Tiap hembus yang terganjal dari senyum rahasia. Tak tahu seharusnya. Biarkan semuanya seperti itu. mungkin, tak ada salah nya bergeming berjarak, bahkan tak bersuara. Merasa sejauh memandang, merindu sejauh desah angin meradadang. Tiap kali ia buka suara, telinga insan lain bekerja. Tiap kali ia lepas bungkam di wajahnya, riap air mata tertahan haru. Lalu menyembul bulir tak nyaman di ujung hati. Mengganggu.

Dia mungkin hanya akan melihat sungging senyum. Dia tak tahu apa yang sebenarnya tersimpan. Karena dia memang tak akan pernah tahu. Dan enyah adalah yang diinginkan kali ini. Didoakan pergi, tapi ditahan di ekor. Dihembus melayang, tapi ditarik benang pemberat. Lalu jejak rasa mau tak mau menggelayut. Padahal sajak patah hati sudah di ujung tanduk. Lalu dia bisa apa?

Menelan rajut nyata hidup bulat bulat sudah biasa. Sudah muak. Hampir mati rasa. Sama biasanya dengar omong kosong mampir menyindir di tepi mimpi tiap kali rintik menghampiri tanah memberikan segaris harapan. Dia mengerti apalah arti harapan baginya? Seperti gerimis menyembul di balik awan kelam tiap kemarau. Tak banyak. Sementara.

Terkadang ia berpikir, angan itu tak hampa. Hanya kadang berpindah. Dari satu tujuan ke tujuan lain. Dari satu bahasa ke bahasa lain. Dari satu musim ke musim lain. Tapi nista dikatakan, angannya pun stagnan. Tak perpindah. Justru kian mengisi. Salah disebutnya karena insan ini hanya boleh menyentuh bayangan tanpa menggenggam tangan. Imaji hanya boleh dirangkai tanpa jeda aksi setelahnya. Mengeluh tiap kali bayang nya melaju di tiap gelintir cahaya. Lantas melenguh jadi sandaran semata sebab tuhan pun tak menjawab.

Tak pernah diniatkan untuk menyanjung siapapun, bahkan karya tuhan paling agung. Karena terkadang rasanya tak pantas, tak sesuai, tak pas. Tapi dalam hati mengiba, siapa tahu insan ini berpaling lalu guntur tak tega, lantas menyampainkan pesan pada tuhan yang nampaknya sedikit bingung. Lalu Dia membalikan telapak sejalan keadaan. Tapi seperti orang katakan, hati siapa yang tahu. Hati siapa juga yang dengar. Mereka bilang tuhan yang punya kuasa. Tapi mana?

Jadi ya sudah.
Dari dalam dia mendoa.
Semoga surat ini sampai.
Semoga surat ini sampai.


January 26, 2013

Pagi dan Malam


Tiada yang lebih rindu dibandingkan kita, yang berjalan diantara dua dunia. Jika kau memang mengerti, mengapa malam dan pagi hari berbeda banyak, padahal jarak yang ada tak seberapa. Itu karena hanya Tuhan tak berkendak. Mengapa tak jadikan malam dan pagi layak nya siang dan sore? Serapat. Sebatas. Sewarna. Lalu mengapa pagi dan malam begitu rentang nampaknya? Mengapa jauh? Padahal semua nya mengerti selalu ada matahari di kala malam. Matahari sama yang menerangi pagi. Matahari yang membiarkan biasnya melekat dan menjadikan bulan pemeran utamanya. Lalu mengapa karena itu kita lupa seberapa sama nya malam dan pagi? Ribuan detik aku menatap jalanan lengang. Hanya gelap. Kau dimana pagi? Begitu jauhkah jarak kita? Bukan kah kau hanya berdiri di samping? Bergeming. Serupa asing. Kali ini detik tak tepat waktu. Ketika dingin ini menggigit lantas tak ada kejutan kah untuk insan? Hanya membiarkan malam ini terus bergulir, lantas ada sebagian yang terlunta. Pagi itu masih ada kan?


 






Pagi itu selalu ada.
Malam juga.
Namun, selalu ada yang tertahan.
Karena Tuhan, menghendakinya.

January 25, 2013

Titipan Ibu


Namanya Pijar. Bercahaya seperti namanya. Perempuan berkulit putih bersih, berambut hitam panjang bergelombang sebahu, bermata bulat kecil apik, berbulu mata lentik dengan bias pewarna kelopak mata yang sengaja kau kenakan. Bibir merah terkena gincu. Pipi merah hasil perona itu. Tak usah semestinya kau gunakan semua itu. Karena wajah mu memiliki warna nya sendiri. Aura mu mempunyai cahaya nya sendiri. Tak heran mengapa ibu mu menamai mu demikian, Pijar. Mungkin karena ketika kau lahir ke dunia, pertama kali kau membuka mata, sebagian dari cahaya nirwana kau serap dalam tubuh mungilmu, dan kau bawa ke dunia. Dan kau tunjukan sekerlip lewat matamu, segelintir pada bahu dan leher jenjang mu pinggul mu, dan pasti wajah mu. Setiap lekuk tubuhmu adalah keindahan. Seakan tiap mahkluk surga berkumpul, berkonspirasi, menemukan ramuan tepat untuk menyempurnakan sosok mu. Seakan Tuhan pun tak cukup baik menciptakanmu.

Ku sebut namamu Pijar. Ibumu memanggilmu ’Nduk’. Tapi mereka menamakan mu lain. Sandra. Entah. Kata mu itu lebih komersil. Lebih Hollywood. Lebih menggoda. Aku mengerti. Kau harus melakukannya demi pekerjaan mu. Pekerjaan yang kau pilih atas nama himpitan pemuasan kebutuhan. Kota ini kejam. Kota ini membunuh. Kota ini titisan neraka. Kita semua tahu, semua usaha dibutuhkan jika kau ingin bertahan di taman seperempat neraka ini. Dan karena itu, sudah sedari tubuh mu memulai lekuk pertama nya, rencana akan pekerjaan itu muncul. Kau mengerti benar indah diri mu. Kau paham betul parasmu dan tubuh mu. Kau sadar tawa mu bermelodi. Lantas, kau upayakan semua demi menyambung nafas di belantara beton ini. Demi makan. Demi hidup. ”Demi ibu,” ujar mu.

Malam itu kita bertemu, Pijar. Setelah sekian lama aku menunggu mu. Kau datang dengan seluruh harum wangi tubuh dan gemerlap diri yang kau punya. Bintang kala itu punya saingan. Dan mereka bukan pemenang. Kau mendekat, menarik kursi dan duduk di depan ku, lantas bertanya kabar hidupku. Ku jawab dan kita melanjutkan percakapan yang berawal dari basa basi itu dengan gelak tawa. Suara mu masih sama, nyaring manja. Tawa mu masih renyah berirama. Dan mata itu, jelas cemerlang. Dengan atau tanpa riasan yang kau kenakan. Aku tahu itu. Aku pengagummu sedari kita bermain di selokan dekat jembatan. Percakapan terus mengalir. Kau katakan, dirimu tak pernah sebahagia ini. Hidup mu berubah. Ibumu tak lagi tinggal di perumahan penuh padat senggol pantat. Beliau tinggal di rumah komplek dua ratus jutaan dengan kavling atas nama pribadi. Kesehatan nya sudah diinvestasikan. Ada dua pembantu menemaninya. Sedangkan, kau tinggal di kamar apartemen. Tempat tinggal yang dulu sempat kita impikan sama sama. Kita membayangkan bagaimana rasanya tinggal di atas awan. Di tempat itu. Di atas. Di tempat yang dulu kita pun sulit untuk mengejanya. Di sebuah kamar yang harga nya sanggup menghidupi kampung senggol pantat kita selama seratus tahun, ujar mu seadanya sambil mengikik dulu. Sekarang, kau tinggal di sana, Pijar. Kau dengan pasangan mu. Bukan suami mu, bukan tunangan mu, bukan kekasihmu. Pelanggan mu. Setidaknya itu yang mungkin bisa aku simpulkan dari percakapan ini. Karena kau tak pernah mendambakan ikatan suci. Kau tak menimpikan cinta sejati. Bagi mu, asmara dua kali seminggu cukup. Asal dana tiap bulan lancar. Kau hanya datang bila diminta, kau juga menghilang jika diperlukan. Dan itu memang diperlukan. Kau tak ingin istri dari pelangganmu yang pejabat itu tahu dan menghabisi mu. Menjambak rambut indahmu, menampar wajah jelita mu, atau bahkan mengoyak bibir merah mu, atau mencabik tubuh indah mu menjadi dua belas bagian, dan memburai usus mu. Mungkin juga bukan diri nya yang melakukannya, tapi orang lain, yang dibayarnya. Entahlah, dan kau hanya tertawa dan berkata ”Sudah biasa,” menanggapi banyolan ku yang sebenarnya tak lucu. Kau tak peduli. Kau hanya ingin kau tertawa, bahagia, penuh.

Pagi ini aku ke rumah ibu mu. Beliau masih seperti dulu. Cantik sederhana. Sering ku bayangkan dirimu akan nampak persis seperti beliau tiga puluh tahun lagi. Rona ibumu selalu ramah. Senyum keibuan itu mengantarkan ku masuk ke rumah pemberian diri mu. Kau benar, rumah itu seperti rumah impian ibu mu. Bersih, sejuk, apik dengan taman belakang yang luas lengkap dengan kolam ikan. Ibu mu terlihat sehat. Investasi kesehatan itu ternyata bukan omong kosong. Ternyata tak hanya dirimu yang bahagia, ibu mu juga. Beliau katakan, beliau akan lebih bahagia jika kau tinggal bersama nya, bukan hanya dengan barang dan uang tiap bulan yang kau titipkan di bank lewat mesin sebesar kulkas dua pintu itu. Ibu mu merindukan mu, Pijar. Beliau menyayangkan mengapa kau harus bekerja begitu jauh di Surabaya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku menyimpan semua cerita hidup mu. Kisah itu bukan untuk perempuan tulus bersih ini. Kemudian beliau bercerita betapa bangga nya memiliki putri sukses seperti kau. Sekertaris yang aktif melanglang buana. Kesana kemari mencari pengalaman. Pulang pergi negeri orang. Aku cukup mendengarkannya hingga aku tak tahan dan ternyata waktu berjalan cepat dan aku mulai ketinggalan hari. Aku berpamitan kepada ibumu dan mengatakan aku akan menemuimu esok. Ibumu senang bukan kepalang. Beliau berlari kecil ke dalam rumah dan kembali dengan wajah dan air muka yang berseri, memberikan sebuah kotak merah kecil manis, berisi kalung liontin mutiara. ”Titip buat Pijar ya, Nak. Ibu pengen dia yang simpen. Bilangin dia, cepet pulang.” bisiknya lirih tambah senyum. Aku melihat getir rindu di ujung matanya. Aku genggam titipan itu dan menyampaikan salam pamit.

Bergegas ku ke apartemen mu. Lantai lima belas. Cukup tinggi untuk mewujudkan mimpi ”tidur di awan” mu itu. Aku masih menggenggam titipan. Tak perlu ku menekan bel pintu, langkah terakhir ku menuju ke kamarmu, pintu itu terbuka. Kau dengan handuk basah di kepala mu. Kaos putih polos dan celana pendek merah jambu. ”Apa kabar, Sandra?” “Aku Pijar, bodoh.” Katamu sambil menoyor kepala ku. Aku hanya mendengus kesal sambil tersenyum kecil. Apa yang bisa aku lakukan, Pijar—um maksud ku Sandra, apapun yang kau lakukan kepadaku, selalu mengundang kupu-kupu di perut. Koreksi. Tak hanya perut, tapi menyebar di tiap denyut. Kau mengajak ku masuk dan aku duduk di sofa panjang besar di ruang tengah istana awan kecil mu. Kau menyeduhkan teh sambil bersenandung lirih. Senandung yang ku kenal jelas. Senandung yang dari kecil kau dengungkan. Senandung yang ibu mu selalu merdukan tiap kau hendak terlelap semenjak kau curi indah surga dan kau bawa ke dunia. Senandung yang sama. Terbayang semua kenangan masa kecil kita yang jorok. Anak selokan, anak layangan, anak ingusan, anak kampung. Kembali semua ingatan tentang kepangan rambutmu, raut wajah mu ketika kau menangis karena ayah mu tak jadi membelikan mu kunciran rambut baru. Kau berhenti bersenandung, menatap ke arahku dan tersenyum. Senyum manis yang membentuk lesung di pipi mu itu. Pipi merona yang dulu pernah ku kecup malu-malu saat kau tidur di rumah ku karena teralu letih bermain layangan sore itu. Kau begitu cantik waktu itu, dan hari ini kau lebih cantik dari biasanya. Kali ini kau Pijar, bukan Sandra. Kau bersenandung lagi, mengingatkan ku pada ibumu. Ah iya, ibu mu dan titipan nya. Maafkan aku, Pijar. Aku kesini menggenggam titipan, tapi bukan dari ibu mu. Titipan dari klien ku. Seorang ibu juga, ibu dari tiga anak yang ayah nya berselingkuh dengan perempuan muda bernama Sandra. Tapi dia memanggil nya Sundal, bukan Sandra.  Maafkan aku, Pijar. Aku kesini bukan untuk mengantarkan titipan ibu mu, tapi ibu yang lain. Maafkan aku, Pijar. Tak dari dahulu saja aku mencari mu dan meminta mu untuk hidup bersama ku, tentu ibumu boleh ikut serta. Aku menyayangi mu dari dulu, Pijar. Kali ini aku datang, tapi bukan untuk meminangmu. Maafkan aku, Pijar. Aku disini, hari ini, untuk membunuhmu.

January 24, 2013


“Saya minta maaf, Diri. Biarkan saya jadi diri yang dulu. Tak membaik. Tak berubah. Tetap. Tetap membiarkan ego berkuasa, emosi berlaga. Selalu takut. Takut hal dulu terjadi lagi. Terkungkung. Maafkan saya, Diri. Tak hati-hati. Lagi.”

Terjengkang

Melangkah ke depan.
Konstan.
Tali menarik ke belakang.
Terjengkang.
Lalu harus apa?
Jalan di tempat?
Dimana?
Disini.
Di tempat yang sama.
Cekungan. Genangan. Berduri. 

January 12, 2013


“The happiest man alive is the one who shares and be happy for that.”

--Mom

January 11, 2013

Hening


Harus diakui,
Terkadang kau rasakan intim dari hening.
Karena hanya ada kau dan diri mu saja.
Berdua.
Di tengah tengah himpitan dimensi ruang dan waktu.
Saling mendengar.
Saling berkaca.

Hening punya semua
Kemampuan untuk bercumbu dengan rasa dan logika

January 10, 2013

Saya Iri


Saya iri
Pada kamu yang bisa menelanjangi dan telanjang
Dimanapun kamu bisa
Ke siapapun kamu mau

Saya iri
Pada kamu yang bicara jalang meradang
Lalu melukiskan bayang di kanvas paling kelam
Biar semua fasih tentang jiwa mu
Jelas. Pekat. Tebal.

Saya iri
Pada kamu yang menyumpahi
Serapah rendah tanpa kajian
Hanya emosi
Deru amarah melengkapi

Saya iri
Pada kamu
Mengubah sampah jadi lumrah

January 01, 2013

Dialog Januari-Januari


Januari

I’m not that into him kok”
”Haha, orang juga tau lah nis, lo gimana, Adi gimana. Udah ah, gue cabut dulu ya. Daaah,”

Selalu semudah itu dia datang dan pergi, semaunya. Tinggal Nisa yang merasa kosong setelahnya. Rasa penuh yang sementara, lalu lenyap tak bersisa.

Februari

“Mbak, apaan tuh?”
“Coklat. Buat suami gue.”
“Ah elo, udah tua juga kelakuan masih aja kaya abege pacaran hahaha.”
“Heh, ini anak. Ya gapapa dong, namanya juga Valentine’s day. Sah sah aja lah. Lo aja sirik ga ada yang lo kasih coklat. Woooooooo….”
“Yeee ngapain juga gue kasih coklat ke orang.”
“Iya lah, mau ngasih gimana. Kelamaan jomblo sih lo. Makanya, cepetan punya pacar, ga usah nungguin yang ga dateng lah.”

Dua kata. Kalah. Telak.

Maret

”Ciiiieeeee Niiisaaaaaa......udah ada yang baru aja tuh. Kenalin dong kenalin sini! tiba-tiba ke kantor bawa yang bening gini. Siapa namanya hah? Siapa? Nicholas? Apa Bruce? Apa James? Hahahaha”
“Heh sembarangan lo! Bukan siapa siapa, ini temen kampus dulu. Kenalin, Pras. Pras ini Meli, itu Mbak Nunik, itu yang lo dudukin kursi nya Mas Arif, orangnya lagi keluar kayanya.
Mel, Pras ini yang bakal bantuin kita buat agenda CSR ke panti asuhan bulan depan”
”Pras.”
”Oooh muka bule gini namanya Pras? Hihihi lucu yaa. Pras, udah kenal Nisa dari lama ya? Udah, kalian jadian aja, kayanya pas deh. Kamu tipe Nisa banget tuh. Hahahaha.”
”Oh gitu, mbak? Wah, doain aja ya mbak. Insya Allah deh saya nanti make move hehehe.”
“Ya kali, Praaas…apaan sih.”
“Hahaha, jangan malu-malu kucing gitu lah, Nis. Sampe merah gitu muka lo.”
”Doain aja ya mba, hahaha”
“Ah mulai aneh aneh deh lo,Pras”

Nisa hanya mampu menggelengkan kepala akibat ulah Meli dan gurauan Pras yang membuat jantung Nisa berhenti berdegup sepersekianmilisekon.

April

“Mas Praaaaassss!!!!!!”
“Hey!! Apa kabar apa kabar? Duh udah berat ya kamu sekarang, pegel aku gendong kamu hahaha. Eh apa ini?”
”Kue bolu kukus, dari kakak itu.”
”Oooh, iya iya.”
”Enak tau mas, mau ga? Nih buat mas,”
“Eeeh ga usah, buat kamu a…..”
”Hihi masuk mulut mas Pras deh, enak ya mas.”
“Hmmmmm..he eh he eh..”
“Kakak nya cantik baik lagi mas—iih Mas kok diabisin siih kue akuuuuuuuu!!!!”

Mei

“Pras, lo tuh ngerti jalan ga sih?”
”Ngerti lah, Bandung sih daerah jajahan gue, Nis.”
”Ah gila lo, udah daritadi nih kita muter muter di jalan ini aja. Tanya orang deh. Duh, ini dimana sih?”
”Hahaha panik banget sih lo. Sebenernyaaa.....gue sok sok bikin kita nyasar aja sih, Nis. Supaya bisa lama-lama jalan sama lo..cieeeee Praaaas hahahahaha,”

Nisa tersedak. Tak membalas. Berlagak tidak mendengar gurauan Pras yang mulai tak lucu.

Ga lucu, Pras. Beneran. Ga lucu.


Juni

”Nis, siang ini ada acara gak? Lunch bareng yuk, sekalian deh lo kan pengen beli buku buat anak anak panti lo.”
”Uuum, mau kemana dulu nih? Gue males juga kalo jauh jauh dari kantor,”
”Ga kok, paling sekitaran Mampang,”
”Oooh, gitu toh. Yaudah deh, Di, nanti gue kabarin lagi.”
”Okee, kabarin ya, soalnya kan gue pernah janji sama lo mau nunjukin tempat makannya.”
”Oh, oke oke Di, santai lah. Ga usah di-consider janji juga sih hahaha.”
”Eh serius Nis, sekalian jalan aja lah, lagian udah janji juga kan ke lo,”
”Ya ampun Adiiiii, santai aja sih kaku amat pake janji janji gitu segala,”
”Udaaah, pokoknya kita lunch bareng. Oke Anisa Lazuardi?”
”Ummm, okay I’ll text you later, then, Adi Kusuma Wicaksono.”

Lelaki itu berlalu setelah mengacungkan jempolnya. Nisa menghela nafas, lelaki itu tak ada lelahnya. Lalu teringat, ada janji yang harus dipenuhinya sore ini. Mengetik pesan, memilih nomor kontak, Prasetyo Soebrata. Mengirim. Terkirim.

Juli

Me:
Hey, you!                                                                                             21:32
Makasih traktiran bukaan nya, thanks udah nganterin balik :)           21:32
------------------------------------------------------------------------------------------
Prasetyo Soebrata:
Yup, nevermind. Kan tadi sekalian jalan balik haha                           22:45
-----------------------------------------------------------------------------------------
Me:
Tidur lo buruan. Jangan begadang. Nanti sakit aja                           22:45
Kan masih ada proyekan sekolah jalanan minggu abis lebaran        22:45
------------------------------------------------------------------------------------------
Prasetyo Soebrata:
Iya iya gue baru bikin agendanya nih                                                 23:01
Duh jadi enak diperhatiin sama neng geulis :3                                   23:01
-----------------------------------------------------------------------------------------
Me:
Hahaha iya dong enengnya kan khawatir sama abang                      23:04
Udah sana tidur pras                                                                          23:04
-----------------------------------------------------------------------------------------
Prasetyo Soebrata:
Ga janji ya neng, soalnya abang mau nonton bola dulu sekalian
saur                                                                                                     23:20
-----------------------------------------------------------------------------------------
Me:
Woooo dasar laki, yaudah sekalian bangunin gue saur ya pak          23:22
-----------------------------------------------------------------------------------------


Percakapan itu selesai, habis untuk malam itu. Dan jantung Nisa berdebar empat kali lipat tiap kali telefon selular nya berbunyi, tanda Pras membalas pesan singkatnya.


Agustus

Me:
Selamat idul fitri, Bung Prasetyo Soebrata!                                        6:45
Maaf lahir batiiin :)                                                                             6:45
-----------------------------------------------------------------------------------------
Prasetyo Soebrata:
Ooy, sama sama ya                                                                             10:17
Minal aidin walfaidzin. Sori ya nis gue suka becanda2                      10:17
Salam buat keluarga :)                                                                        10:17
------------------------------------------------------------------------------------------
Me:
Haha ya kali deh pras, keluarga gue kan ga kenal lo             10:20
Masa nanti gue bilang mama “ma, salam dari Pras, minal
aidin katanya” lah pasti emak gue bingung haha                               10:21
-----------------------------------------------------------------------------------------
Prasetyo Soebrata:
Loh ya ga bakal lah mama ngomong kaya gitu                                  10:21
*cie mama :p                                                                                      10:21
-----------------------------------------------------------------------------------------
Me:
Lah? Terus gimana deh                                                                      10:21
-----------------------------------------------------------------------------------------
Prasetyo Soebrata:
Pasti gini: ma, salam lebaran dari Pras. Oooooh Pras calon
menantu mama itu ya, suruh kesini makan ketupat bareng                10:23
hahahahaha                                                                                        10:23
------------------------------------------------------------------------------------------

Deg. Rasa nya itu detak jantung Nisa yang terakhir.


September

”Eh jadi gimana lo? Ga jadi jadi sih sama Pras?”
”Mel, apaan sih. Bahas aja terus.”
”Eh bulan syawal ini, bagus buat nikahan! Hahahha”
Sopo sing mau nikah, Mel?”
”Itu loh Mbak Nik, si Nisa, udah nemu gandengan tapi belom dijadiin haha capeeee deeehhh....”
”Lho? Iya Nis? Sama siapa toh? Pras Pras itu ya? Wah apik tenan loh kalian berdua itu, pantes. Kok belum dijadiin Nis?”
”Aduuuh Mbak Nunik, si Meli didengerin, ih ngawur dia Mbak.”
”Hahahaha doain aja tuh Mbak, aneh sih tuh berdua, ga ada yang mau maju. BBM-an bales nya tiap dua jam sekali. Si Nisa bingung jadinya Mbak sama si Pras. Udah sih, Nis. Jaman berubah, emansipasi wanita! Ngaku aja buruan!!!!”

Mbak Nunik tertawa. Meli, si biang kerok itu apalagi. Hanya tersenyum masam yang Nisa bisa lakukan, namun entah mengapa ujaran Meli berkali-kali menggema kecil di ujung benak nya.

Ngaku aja buruan. Ngaku aja buruan. Ngaku aja buruan.


Oktober

”Gue tuh kesel Nis sama Donny, dia tuh maunya apa. BBM-in gue tiap hari, gombal gombal ga penting bikin gue ser-seran, tapi mana? Ditembak apa ngaku apaan juga enggak. Cape Nis gue diginiiin. Anjir, berasa ganteng apa tuh anak ya? Berasa ga mau kehilangan fans? Gue? Fans nya gitu? Anjiiiiing itu cowo nyebelin banget. Kesel sampe seubun ubun tau ga sih lo Nis? Galau segalau galaunya gue. Mau nya tuh apa sih? Kalo emang he is not into me, ya ga usah kasih harepan gue lah. Kalo emang demen sama gue ya maju. Semaput tau gak sih. Nis, maaf lo gue cerewetin, gue cuma gatau mesti gimana lagi.”
“Sabar, Del.”
“Gue muak Nis, udah cukup lah hampir 3 bulan gue diginiin. Naik turun banget ga ada kejelasan. Gue sama Bilal aja lah, selama ini dia udah baik banget, usaha, jagain gue. Ga guna ngarepin orang yang ga jelas maunya apa dan ga usaha buat gue. Fix. Ga ada nama Donny lagi, biar mati aja itu anak.”
”Iya sayang, iya. Udahan ya nangis keselnya.”
”Okay, Nis. Thanks for caring and listening my stupid moaning yah. Makaasiiiiiiiiihhhhhh banget. You are such a nice person, semoga lo ga ngalamin kejadian kaya gue ya. Bye, Honey.”
Bye. Take care.”

Klik. Telfon akhirnya ditutup. Kepala Nisa berdenyut-denyut. Cerita Adel menyayat hati nya. Terasa teralu familiar. Bipbipbip. Telfon selular nya berbunyi. Ada pesan masuk. Pras?

From: Adi Kusuma Wicaksono

 I heard you are sick, are you okay?
Gue ke tempat lo ya, nis.
----------------------------------------------


November

“Nis, tuh udah ditungguin tuh. Cieee tukang ojek nya sekarang baru nih?”
”Mulai deh lo, Mel.”
”Hahaha, usaha nya oke banget loh, Nis. Udah sebulanan ini anter jemput lo terus. Pacar lo bukan sih? Eh si Pras apa kabar? Kok ga pernah keliatan lagi?”
            “Cabut ya, daaaaaaahhh……”
            “Eh, jangan main cabut aja lo, itu ada notes dari Mas Arif, katanya…….”

Nisa mempercepat langkah nya. Muak dengan Meli dan segala pertanyaannya tentang apa siapa dimana kemana. Apapun.


Desember      

”Gue serius sama lo, Nis. Selama ini ya gue usaha buat lo, buat gue, buat kita. Gue kepikiran lo terus.”
“……………”
“Gue sayang lo, Nis. Seriously.”
“……………”
“Nisa, izinin gue jagain lo terus ya.”

Jeda panjang. Otak Nisa malfungsi. Lidah kelu, mati. Menahan nafas bahkan tak berikan efek berarti.




Januari

Me:
Where?                                                                                    18:37
--------------------------------------------------------------------------------
Adi K. Wicaksono:
I think i’m gonna be late. The traffic is damn
horrible                                                                                   18:45
--------------------------------------------------------------------------------
Me:
Okay                                                                                        18:45
Just ping me when you arrive, ok?                                          18:45
Be careful, honey. I love you                                                   18:46
--------------------------------------------------------------------------------
Adi K. Wicaksono:
I will. Love you too                                                                  18:46  
---------------------------------------------------------------------------------


Januari

“Mas Pras, Mas Pras!! Itu kue nya kok ga dimakan? Biasanya mas suka makan kue itu. Buatan kakak cantik loh mas. Baru aja dikirim. Kok ga mau sih? Tumben.”
”Haha gapapa, kamu aja yang makan, mas udah kenyang.”
”Bener nih? Kue Mas Pras buat aku aja ya? Boleh ga?”
“Iya, ambil aja, Dek.”
“Asiiiiikkkkk!!!”

Pras hanya tersenyum simpul saat kue manis itu digenggam dan dibawa keluar kamar.