August 31, 2012

Maunya Apa?


Disinilah saya
Hasrat menyusup
Udara melengang
Jentikan waktu menghimpit

Angan itu jauh
Walau batin berpeluh
Tapi tak mengapa
Karena itu biasa
Maka duduk saja

Ruangan ini senyap
Udara bebas, menjaring pengap
Maunya apa?
Bermain kata sembunyi suara
Menanti sempurna menjalani biasa
Berimajinasi warna berealita hampa
Memupuk asa meregang logika
Ya lalu apa?
Liar hati, bungkam nyata?

Haha
Biarlah sesekali kita tertawa
Hidup ini jenaka
Rangkaikan dongeng lalu bersabda
"Mimpi itu adalah konkret adanya"

Lah.
Siapa yang bodoh?
Samar realita menyanggah
Sesak insan tergopoh
Mendamba haru asa membawa serapah

Ya, lantas apa?
Berjalan salah berlari salah
Berdiam bosan berloncatan jatuh
Berendam keriput berenang tenggelam
Mau nya apa?

Mati remuk dalam realita pendamba mimpi?
Mau nya apa?
Matikan mimpi hidupkan sepi?
Mau nya apa?

Mati saja. Mati.

August 28, 2012


Untuk segala pelanggaran yang terjadi, katakan saja seperti ini:
 ”Saya tak punya otak, dan kau tak punya hati.”

Lirihan Gemuruh


Kali ini aku bermimpi.
Aneh.
Kau mengatakan dalam mimpi kau bermimpi ku memintamu tuk kembali.
Hey, sebenarnya ini mimpi siapa?
Kenyataan manis yang semesti nya ku caci.
Berhujankan untaian kata semerbak ku tangisi.

Mau apa kau?
Berani nya mengobrak abrik dunia paling murni
Itu mimpi saya!
Untuk apa kau datang seraya berujar
Sesuatu yang tak pantasnya kau sebar

Sudahlah,
Keluarlah kau!
Hengkang!
Jangan pernah kembali

Tidak puas kah kau meruntuhkan segala dinding?
Iya, di luar sana
Di tengah teriknya matahari
Ketika ku mulai menyalahkan mentari
Dan tak perhatikan bayangan sendiri

Mau apa lagi kau?
Bergeming di ruang hati
Yang tak sepatutnya kau tempati

Sudahlah,
Lelah aku bermain dalam lingkaran ini
Cukup.
Keluarlah!

Bejana Sama


Bejana ini masih bejana yang sama
Sekian kali retak
Sekian kali remuk
Sekian kali pecah berkeping

Bejana ini masih bejana yang sama
Yang kupunguti kepingan
Demi kepingan nya
Dgn semampunya usaha
Dan sekuatnya tenaga

Bejana ini masih bejana yg sama
Yang ku rekatkan sebisanya
Dengan apapun yang melekatkannya

Salahku menyisakan celah
Celah retakan
Yang awalnya biasa

Namun ternyata itu sebuah kealpaan
Celah itu mudah goyah
Mudah ruai, tercurah, menyerah
Meregangkan semua rekatan

Lalu, bejana ini kembali ke bentuknya semula,
Kepingan.

Bejana ini masih bejana sama
Yang berupa kepingan
Yang harus kembali direkatkan
Tanpa celah setelahnya.

Kembali

 Luka ini kembali lagi
Menyisakan rekaman kata-kata yang hinggap
Dan berputar-putar di benak
Tentang kalian dan segala sesak

Ku pinta angin dan pagi
Untuk membawa pergi
Tapi angin diam, pagi tersenyum,
Seraya menggugam,

Hey kawan, 
Kau yang pernah katakan sendiri
Kau yang buat ku percaya
Maka bertahan lah
Berjuanglah

Karena luka adalah lumrah.

Teruntuk  jiwa di dalam,
Agustus 28, saat matahari muncul di permukaan.


August 22, 2012

Kita dan Orang Tua


Ini cerita dari pikiran sederhana saya yang mudah saja terlintas di benak ketika saya sedang berada di dalam bus.

Saat itu pagi hari, matahari bersinar terang, seperti biasanya
Hiruk pikuk kota yang ramai, seperti biasanya
Asap dan debu kendaraan motor khas kota industri, seperti biasanya
Saya dan ransel saya siap menuju ke kota realita, seperti biasanya
Bus merah besar jurusan Ps. Rebo, seperti biasanya
Penumpang-penumpang yang kebanyakan tertidur, seperti biasanya

Namun, ada satu pemandangan yang terlihat berbeda di mata saya pada saat itu.

Ada seorang ibu yang sedang memangku anaknya yang masih bayi.
Bayi yang masih kecil,
Bayi yang belum tumbuh rambutnya.
Masih gundul.

Ibu itu bukan hanya sekedar memangku, tapi mengajaknya bermain
Bermain kata,
Bernyanyi
Membuat bayi terus tertawa dan melupakan penatnya perjalanan bus
Memberikan nya susu, ketika si bayi gundul menangis karena haus
Ketika bayi gundul itu mulai merasa tak nyaman,
Berganti si ibu menyanyi
Menidurkan si bayi gundul di pangkuannya.

Pertanyaannya,
Apakah si bayi yang nantinya dewasa akan berlaku demikian kepada ibu nya yang menua?
Kepada ibu nya yang mungkin saja mulai kehilangan helai-helai rambut indahnya?
Kepada ibunya yang mungkin saja berubah gundul?

Apa iya nanti si anak akan tetap menjaga ibu nya di usia senja nya?
Apa iya si anak akan tetap sabar mengajak ibu nya berbicara dalam kealpaannya berkomunikasi?
Apa iya si anak nanti menyanyikan lagu pengantar tidur?
Apa iya nanti si anak menenangkan ibu nya?

Lalu saya berkaca,
Mengingat orangtua saya,



We are too busy growing up, then forget our parents are growing old.

“The most tenderly romantic moment is when you’re praying, for you are talking with the one who loves you the most and you love the most.”

Pagi Itu........

Pagi itu romantis
Ketika surya masih malu-malu bersinar
Ketika langit masih muda
Ketika kicau burung masih syahdu 
Ketika decit ayam masih beriringan
Ketika hembusan sejuk angin membawa wangi tanah
Ketika embun masih berani beraga
Ketika manusia masih di fase alaminya
Ketika semuanya berjalan semestinya

Pagi itu anugerah
Karena saat itu lah, Tuhan memilih
Memilih siapa mahkluk ciptaan-Nya 
Pantas utk menggenggam nafas
Selarik kehidupan
Mencoba peruntungan
Belajar dalam kesempatan

Pagi itu pembuka
Desir harapan lahir
Denyut semangat tumbuh

Pagi itu ikhlas
Memaafkan kesalahan kemarin
Merelakan mimpi semalam
Mulai berjalan di awal dunia
Dan menerima kenyataan pangkal hari

August 21, 2012

Maaf Lahir Batin, Hai Saya :)


Maaf dan memaafkan itu lumrah bagi setiap orang. Apalagi momen lebaran kaya gini. Pasti, cuma di mulut aja atau ga, si “minal aidin walfaidzin” itu selalu mampir di telinga atau mata kita. Bisa dari layar kaca gadget kita yang deres banget sama pesan-pesan singkat lebaran atau telfon dari kanan kiri, atau bahkan malah sepanjang jalan yang kita lewati pasti ada aja tulisan ”mohon maaf lahir batin” itu. Ga salah sih. Sah-sah aja, namanya juga suasana lebaran.

Kita sering kali mempersiapkan hati untuk memaafkan. Mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang lebih ksatria. Menyiapkan hati yang lebih besar dan senyum yang lebih ikhlas. Membenahi sikap dalam balutan fitri. Untuk siapa? Untuk ibu, ayah, kakak, adik, sahabat, kekasih, kerabat. Untuk orang lain. Padahal ada orang yang sepantasnya kita maafkan terlebih dahulu. Jauh lebih penting bahkan dibandingkan saudara atau ibunda kita sekalipun. Orang yang sangat dekat dengan kita, namun sering kali luput dari perhatian kita.

Orang itu adalah diri kita sendiri.

Kebayang gak berapa kali dalam sehari kamu memikirkan diri kamu? Maksud saya, memperhatikan bagaimana keadaan tubuh atau pikiran kamu. Memperhatikan kondisi fisik dan batin kamu. Kebayakan dari kita, teralu sibuk mengejar target dunia. Fokus kerjaan, atau workaholic istilah kerennya. Bagus sih. Punya target dalam hidup itu bagus. Mengejar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan juga sangat baik. Tapi, sering ga kita memperhatikan keadaan diri kita sendiri dalam pengejaran target hidup itu? Pernah ga kita lalai menjaga diri sendiri, misalnya kesehatan? Pernah ga mempertaruhkan kondisi diri sendiri atas nama ambisi hidup? Atau contoh gampang nya, pernah ga sakit gara-gara memforsir diri sendiri untuk pekerjaan?

Silahkan jawab sendiri pertanyaan barusan. Kalau ada saya boleh jawab sendiri sih, jawabannya SERING. Gara-gara diri saya sendiri, saya sakit fisik dan sakit hati. Saya sering membiarkan diri saya larut dalam kepenatan yang saya ciptakan sendiri. Saya sering teralu serakah kepada diri saya sendiri, menelantarkan kesehatan atas nama pekerjaan atau tugas. Saya sering mengacuhkan suara hati saya ketika dia menyerukan kata ”tidak!” atau ”berhenti!” ketika saya didera kesedihan lantas menagis tak karuan. Saya sering membiarkan diri saya terlarut dalam kepedihan yang semestinya bisa dihetikan oleh diri saya sendiri. Saya sering merajuk, merengek, mengeluh terhadap diri saya sendiri ketika hasil keadaan tidak seperti apa yang saya mau.

Teralu sering saya sombong terhadap diri saya sendiri. Merasa mampu padahal sebenarnya sakit. Merasa bisa padahal sebenarnya butuh bantuan. Saya ”ditampar” oleh salah satu sahabat saya yang tiba-tiba melontarkan kalimat:

”Yaudah sih, Nir. Mau sampe kapan lo nge-dzolimin diri lo sendiri?”

Pertanyan itu sungguh menyentak, menghentak, dan tertancap di benak saya sampai saat ini. Teralu sering saya mengutamakan ambisi dan arogansi diri dibandingkan menyadari batas kemampuan diri saya sendiri. Teralu sering saya berupaya hingga lupa bahwa diri saya berhak berhenti sejenak dan beristirahat. Teralu sering saya mengeluh, bukannya bersyukur atas apa yang telah saya capai. Teralu sering saya terbawa emosi. Teralu serinf saya mendzolimi diri sendiri.

Maka, karena itu lah saya menulis lampiran kalimat ini. Saya hanya ingin berbagi pendapat, bahwa sesungguhnya maafkan lah diri sendiri atas segala kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya. Maafkan segala kesombongan yang dengan atau tanpa sengaja pernah terlontarkan. Jika pernah memiliki penyesalan terhadap kegagalan masa lalu, terima lah. Maafkan diri dahulu yang pernah khilaf sehingga kegagalan menyerta. Tak apa pernah menjadi seseorang yang tidak diharapkan oleh diri sendiri sebelumnya. Tak apa jika hati ini pedih, marah, kecewa terhadap apa yang pernah dirasakan sebelumnya. Maafkan lah segala perasaan buruk yang dahulu pernah hinggap di benak dan hati kita. Tak apa menjadi ”diri yang buruk” sebelumnya. Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia adalah mahkluk pembelajar. Maafkan. Ikhlaskan.
 









Minal Aidin Walfaidzin, wahai Jiwa.

Mohon maaf lahir batin  :)

August 15, 2012

Picisan

Picisan itu adalah manusia
yang selalu bergelut dengan pemikiran aneh
yang selalu pesimis dalam kenegatifan dunia katakan
yang teralu terbawa dalam nikmatnya ambangan rasa yang mungkin tak nyata
yang selalu terlarut dalam keadaan hasil pemusingan diri

Picisan itu selalu ada
ada dalam kepenatan
keputusasaan
keceriaan berlebihan
atau pengharapan yang teralu bebas

Picisan itu suara
ketika semuanya teralu besar
teralu sulit
teralu kecil
teralu mudah
untuk diartikan

Picisan hadir dalam tiap rona
tiap tangisan bercucuran
tiap senguk tertahan
tiap tawa tak bertuan
tiap senyum tipis menghanyutkan
tiap sinar mata tertangkap kosong
dengan makna di dalam nya

Picisan hanya kata menggambarkan
hati menunggang gelombang
kegembiraan dan kerusuhan

Merelakan Rindu


Merelakan rindu.
Seorang teman pernah katakan

Merindulah
Tak ada yang salah
Hanya saja,
Relakan saja
Kalau memang tiada sama
Perasaan yang ada disana

Merindulah,
Tak ada yang kalah
Hanya saja,
Ikhlaskan saja,
Jika memang yang disana
Mengabaikan adanya

Merindulah
Dan biarkan waktu
Yang buat kau
Terbiasa

August 12, 2012


“Tuhan ciptakan ragu dan bias agar kau terus berpikir dan berusaha. Bukan mati dalam pasir hisap kebodohan karena rasa.”--@dawinwinda

Aug 12, 2012 9:24 pm via twitter 

Menciptakan Kebahagiaan



Saya pernah menonton Kick Andy, sebuah acara talk show yang disiarkan d metro Tv. Tema episode kali itu adalah "kekuatan cinta".

karena memang tidak ada tontonan yang lebih menarik lagi, akhirnya saya putuskan untuk menonton talk show itu.

awalnya saya biasa saja menontonya walaupun, ya, kisah-kisah yang diceritakan memang mengharukan.

sampai ada satu kisah, sepasang suami istri yang bercerita bahwa pernikahan mereka tidak direstui oleh pihak keluarga si istri karena suami adalah pengidap penyakit polio.

Andy Noya, presenter acara tersebut bertanya, " Apakah Anda bahagia dengan keadaan keluarga yang seperti ini?" Kira-kira begitu hal yang dtanyakan.

Saya terkejut mendengar jawaban si istri.
"tentu bahagia. karena kami menciptakan kebahagian di keluarga kami."


ya. Menciptakan Kebahagiaan.
patut untuk digarisbawahi, Kawan.

Selama ini dalih kita adalah " mencari kebahagiaan" bukan "menciptakan".

tapi menurut ibu tadi, kita tidak akan mungkin menenukan kebahagian jika bukan kita yang menciptakan.

karena keadaan memang diciptakan, bukan ditemukan.

kalimat ibu tadi benar-benar membuat saya merenung.


betapa tidak adilnya saya kepada diri saya.
karena ketika saya berada dalam kejenuhan atau kesulitan,
sering kali saya merasa bahwa saya berada di kondisi yang benar-benar terperuk.

saya menyalahkan keadaan.

ya, "tidak menemukan kebahagiaan", istilah nya.


dan setelah acara tadi.
sungguh sayamerasa tertampar.

seharusnya saya yang "menciptakan kebahagiaan".
bukan mencoba "mencari kebahagian."

karena kebahagiaan tidak akan pernah ada jika memang bukan kita yang membuat bahagia itu ada.
tersenyum itu sudah merupakan sebuah cara paling mudah untuk menciptakan kebahagiaan kita.

banyak cara lain untuk menciptakan kebahagiaan.
misalnya,

Bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan kepada kita
dan menolong sesama.

cukup hal saja,
dan itu sudah dapat membuat kita menjadi orang yang bahagia.

silakan ciptakan sendiri kebahagiaanmu, Kawan.
dan selamat berbahagia.

That Little Lame Thing


My friend ever asked me a thing, which I’ve already just known the answer,
“Do you know the feeling of falling for the wrong person in a right time?”

It feels like this.
It feels like you have the butterflies yet you have to keep them not to fly.
You have those smiles yet you have to stay rigid.
You have that spark yet you have to be that much subtle.

It is kinda guilty pleasure


It’s pleasure since every time seeing—well, we all know the feeling of falling in love, don’t we? So I just skip the thing.

It’s guilty since you sorta lie to your own self, and keep reminiscing like
“I was wrong to feel this, I should’ve not done this. I should’ve not felt this”
You can not fool your heart, can you?
Haha, so you fool your self as your logic does to your heart.
It won’t work.

Nevertheless,
After all that stupid hesitations,
You keep feeling it.
Then you start to think,
“It’s better to let it go” than “It’s better to let it be.”

Hence you start throwing the things
Step out from the romantic dreams
Elaborate whole tender minds with that lucid sense.

Yet,
After all that was so impractical
So you just wait the things out of your life
Like waiting the wind
Swift away the feelings and just go without trace.

August 06, 2012


“Loving someone whole-heartedly is risky. For you would be devastated into ashes at the end when it did not come in return. I have been there. Mama’s right. I should’ve not done that. From now on, I learn to do that for only two people. Mama and My self. “