July 29, 2012

Konsep Melambat



Apa yang kau pikirkan jika kata “melambat” hadir di benak?
Ketertinggalan? Kesusahan? Menyusahkan? Kekalahan?
Bagi saya, melambat tidak selalu berarti memburuk.

Terkadang,
Melambat itu lebih baik dari mengejar.
Semacam melihat keadaan dan menikmatinya.

Melambat bukan selalu berarti ketinggalan.
Terkadang, berarti berjeda, mencermati, dan menyeimbangkan.

Melambat bukan berarti telat.
Terkadangm melambat membuat mu berpikir lebih dalam, mencari celah yang tepat yang justru nanti menyelamatkan.

Melambat itu kesempatan.
Kesempatan dari Tuhan.
Kesempatan untuk belajar mengamati dan menikmati.
Melambat itu anugrah.

Melambat itu mencintai diri sendiri.
Karena kau membiarkan dirimu bersuara, untuk diri mu sendiri.
Mendengarkan apa yang dikatakan nurani, lalu berjeda sebelum bertindak tepat.

Bukan kah dengan melambat
Kau jadi mengerti
Bagaimana di sekitar mu
Berapa banyak lubang yang kau temui
Berapa macam pilihan jalan yang bisa kau tempuh
Mengestimasi dan menganalisa jalan yang paling aman
Meminimalisasi kenyataan hasil gegabah

Tidak ada salahnya melambat.
Jika memang itu yang diperlukan.
Terkadang, teralu lama kita berlari.

Mengejar sesuatu yang bahkan sepertinya bukan kita yang mau.
Menuruti keinginan kanan kiri yang sebenarnya hanya berlalu.
Namun kita menanggapi teralu.

Terkadang,
Memang seharusnya kita melambat.
Melambat itu bernafas.
Menyeimbangkan dan menyelamatkan.



Hidup Muda


Cerita ini datang sesaat setelah saya sampai di kamar kosan saya yang berukuran 3x2 meter, bercat pink muda, dengan perabot seadanya, dan terletak pada gang Kober, Depok—baiklah, saya sudahi cerita tentang kamar kosan saya—hari itu panas, dan saya baru pulang dari kampus.

Berada di kosan kurang dari jam 4 sore itu adalah suatu keajaiban untuk saya. Bukannya saya melebih-lebihkan, hanya saja saya memang sempat mengikuti beberapa kegiatan yang sedikit banyak membutuhkan waktu lebih di luar jam kuliah saya yang juga sangat padat. Ya, sudahlah, atas nama almamater, saya pun menjalani dua kegiatan yang cukup membutuhkan komitmen itu, yaitu kuliah dan kepanitiaan. Pada awalnya, saya memang menyukai kedua hal itu—ralat, saya lebih suka kepanitiaan itu, karena saya tidak suka berada di kelas dan belajar—sehingga apapun deadline yang diberikan dari kepanitiaan itu akan saya kerjakan dan malah, diutamakan. Namun, setelah beberapa lama berkutat pada pekerjaan ”atas nama almamater” itu, kasur di kosan pun menjadi sesuatu yang mulai saya rindukan.

Betapa saya rindu ”leyeh-leyeh” di kosan, bercanda-canda sesama anak kosan, mempunyai waktu senggang untuk mengerjakan tugas, dan mempunyai waktu untuk diri saya sendiri.....

Inilah beberapa hal yang berbeda ketika saya masih menjalani pkerjaan ”atas nama almamater” itu dan setelah saya menyelesaikan pekerjaan itu.

Ketika saya pada fase ”sangat aktif” memang keadaan nya sungguh menyenangkan. Semangat yang selalu ada, otak yang selalu bekerja, gerak yang dinamis, hal-hal baru, pelajaran baru, seperti ada yang membara di jiwa saya. Hidup yang ’muda’, aktif, dan partipasif.

Hal itu baik, sungguh baik. Hanya saja, ada yang saya lupa. Saya lupa untuk memberikan ’nafas’ pada kehidupan saya. Maksud disini, saya berkerja, bekerja, bekerja, bergerak, bergerak, bergerak. Hidup yang cukup sesak. Saya lupa, tubuh ini bukanlah robot. Dia hidup. Dia butuh ruang luas. Dia butuh jeda.

Sering sekali dia mulai merengek, minta diperhatikan. Tapi, memang diri ini egois. Tak indahkan, tak peduli. Saya asyik dengan semua adrenalin yang berasal dari tekanan luar. Karena saya mau hidup yang muda, hidup yang penuh gelora.

Sekali lagi dia merengek, mulai terseok, mulai melemah. Tapi diri ini ambisius. Tak menoleh, tak peduli. Berburu pengalaman, berkutat pada teka-teki masalah luar dan target-target. Karena saya mau hidup yang muda, hidup yang bergelora.

Berkali-kali dia mencoba mengingatkan, saya tetap tak peduli. Sampai akhirnya, saya sakit. Terkapar di rumah sakit. Semacam ganti oli atau turun mesin atau apalah jika dianalogikan kepada motor atau mobil.


Pada saat itu, saya mulai berpikir apa yang salah.
Yang salah adalah saya yang egois.
Egois terhadap saya sendiri.

Sungguh, jika saya bisa memberikan sesuatu benda untuk menyampaikan permintaan maaf saya kepada tubuh saya, saya akan berikan.
Tapi, ya sudah, setidaknya si tubuh sudah memberikan saya ‘ganjaran’ berupa rasa sakit yang sungguh tidak nyaman.
Cukup adil untuk saya.

Dan sekarang, inilah saya. Berbaring diatas kasur yang saya cintai, mengetik cerita ini di kamar kosan saya yang sederhana, ditemani dengan sepoi-sepoi angin dari kipas angin yang belum saya cuci. Saya di pukul 4 sore. Saya yang sedang ‘bernafas’.

Memberikan jeda untuk teman saya yang selalu setia menemani saya dalam ambisi “hidup muda”.
Memberikan ruang setelah beberapa kali terhimpit desakan keadaaan luar.
Memberikan semacam kebebasan untuk sekedar melakukan hal-hal ringan tanpa beban.
Memberikan waktu untuk mengumpulkan kembali energi dan semangat muda yang seharusnya tetap ada.
Memberikan ”liburan” sampai saya siap kembali menjalani kehidupan bergelora itu.

Bukannya saya bermaksud mengatakan bahwa kegiatan di luar kampus itu sesuatu yang menyusahkan, tidak, tidak sama sekali. Kali ini saya hanya ingin menekankan betapa rindu nya saya dengan ”waktu untuk saya” sendiri.

Mungkin jika ada beberapa dari kalian yang menganggap saya melebih-lebihkan atau manja. Tak apa karena saya yakin, kegiatan saya yang secuil itu belum ada apa-apanya. Namun, yang saya maksudkan disini adalah betapa terkadang kita harus memberikan apresiasi terhadap diri sendiri.

Sehingga semuanya seimbang. Berjalan lapang dalam hidup yang sesak J



Akankah?


Akankah?

Apakah yang akan kau lakukan
Ketika kau tahu
Ajal menjemputmu saat mentari tenggelam


Akankah kau memohon maaf
Kepada mereka yang kau sakiti
Ibumu, ibumu, ibumu
Ayahmu, keluargamu
Kekasihmu, sahabatmu


Akankah kau berbuat baik
Kepada semua yang kau temui

Akankah kau mengingat
Tuhanmu

Apakah yang akan kau lakukan
Ketika semesta memilih
Untuk merahasiakan
Semuanya

Akankah kau berbuat demikian

July 28, 2012

Curhat Sekedar Lewat


Pernah ga ngerasa kaya kamu pengen sesuatu tapi ga tau pasti sesuatu itu apa? Atau pengen sesuatu tapi ga pengen-pengen banget tapi rasa nya itu sebenarnya bukan ”pengen” tapi ”butuh”?

Nah, kebetulan akhir-akhir ini saya semacam merasakan hal demikan.
Aneh?
Emang. Sejak masalah ”pengen-pengenan” itu bisa bikin saya merasa lain sendiri.
Gimana ya cara ngejelasin nya? Jadi terus buat saya bertanya-tanya aja ke diri sendiri,
“Lo mau nya apa sih, Nir?”

Pertanyaan itu kerap hadir setiap hari.
Awalnya sih saya merasa, ya sudah lah biarin aja, nanti juga hilang sendiri.
Namun, sialnya, akhir-akhir ini justru malah mengganggu.
Honestly, geregetan banget loh punya pertanyaan aneh di otak setiap hari dan semacam ganjalan di hati tiap waktu nya.

Hemm, terkadang saya bingung sama diri saya sendiri. Kok bisa-bisanya ngegalau-in sesuatu yang masih abstrak?
Ga tau yang digalauin apa, tapi galau sendiri.
Risau. Gelisah. Apa lah itu namanya.

Sejauh ini sih saya mencoba ”kalem”
Mungkin, memang ini jalan Tuhan. Proses kehidupan buat saya.
Entah lah, saya selalu percaya bahwa Tuhan itu bekerja sangat misterius.
Untungnya, saya suka kejutan. Makanya, sejauh ini saya lebih banyak melakukan sikap ”kalem” itu.

Oh ya, tambahan saja, kalem di sini bukan berarti saya berubah ga banyak omong, lebih pendiam, dan well-mannered dari biasanya. Bukan, bukan kaya gitu. Seorang saya ga mungkin berubah jadi se-elegan itu.

Kalem disini maksudnya, saya lebih berdamai dengan kekalutan batin ini.
Biarin aja, suka-suka mereka.
Tidak teralu mempertanyakan apa bagaimana mengapa siapa bla bla bla.
Membiarkan pertanyaan ini terus menggantung, sampai ada jawabannya.
Tidak teralu berusaha untuk mencari.
Membiarkan semesta mengambil alih, dan waktu ikut membantu.

Semoga cara ini berhasil. Semoga pertanyaan ini segera dijawab Tuhan. Amin.

Eyeliner, Indikator Keberhasilan Perempuan


Ini alasan saya kenapa saya lebih senang menggunakan angkutan umum untuk pergi kemana mana. Selalu ada cerita. Entah itu sesuatu yang menyentak saya untuk bangun, sindiran halus yang buat cekit-cekit kecil di hati, sampai banyolan yang meledakan tawa saya.

Namun untuk kali ini, kategori nomor dua yang hadir di pagi saya.

Pagi itu pagi yang sederhana. Cantik seperti biasanya. Hari senin, dan hari yang sama untuk memulai realita. Begitu pula saya. Saya harus kembali ke Depok, kota panas menyengat, representasi seperdelapan panas neraka. Seperti biasa, saya pergi menggunakan angkot dari perempatan rumah saya dan nanti nya disambung bus ke arah pasar rebo.
Nah, di angkot itu lah cerita kategori kedua itu dimulai.

Diawali dengan naiknya dua mbak-mbak cantik nan rapi ke angkot. Awalnya sih saya santai aja, mereka berdua bercakap-cakap layaknya teman sepermainan *ini apa sih* terus lama kelamaaan, pembicaraan mereka mengarah ke sesuatu yg membuat mata saya menyipit dan hati saya cekit-cekit.

Eye liner.

Siapa perempuan yang baca tulisan saya, ga kenal sama eye liner?
Yah, kalo ga tahu eye liner, ini deh nama lainnya, sipat mata atau celak mata *sumber: mama dan mak aji, nenek tetangga sebelah rumah
Kalo masih belum inget juga, udah bayangin aja, ada aspal cair hitam yang nempel di garis kelopak mata dari ujung kanan sampai kiri.

Ya semacam itu lah.

Nah, mbak 1 itu ceramah ke mbak 2 karena si mbak 2 pakai eye liner nya berantakan. Ga bagus gitu bentuk nya. Kalo istilah mbak1 nya sih "menyon-menyon". Entahlah saya juga ga ngerti itu terminologi dari mana.
Si mbak 2 membela diri dengan alasan emang ga bakat dandan dan tadi buru-buru (alasan yang familiar buat saya hahaha) Tapi, entah itu si mbak 1 kader dari Partai Make Up Indonesia atau apa, dia malah cerewetin si mbak 2 dengan semangat membara dan berapi-api. Dia bilang gini:

"Jadi cewe tuh paling ga bisa dandan dikit2. Supaya ga malu2in diajak kondangan. Modal tuh"

Waaaaah, mendelik lah mata saya
Ngilu lah ini dada saya
Cekit-cekit lah hati saya yang lembut ini

Kenapa hati saya cekat-cekit?
Soalnya, sudah dari kapan tau saya punya eyeliner. Sudah dari kapan tau saya belajar pake. Dari yang bentuknya cair, pensil, spidol lah, tetap aja ga bisa bisa. Kalo di twitter, saya biasanya pake tagar #emanggabakatcakep

Saya jadi mikir, segitu esensial nya eye liner buat perempuan? sampai-sampai indikator 'malu-maluin ke kondangan' diukur dari rapi dan sempurna nya garis semi aspal itu mengukir di ujung kelopak mata?
Entah lah, hanya Tuhan, Mbak 1 penggiat eye liner itu, dan mungkin sales oriflame yang tahu.

Yaaaaa, tapi kalo dipikir-pikir, omongan mbak 1 itu ada benarnya juga, sih.
Maksud saya, ga ada yang salah dalam usaha. Apalagi usaha memperbaiki atau mempercantik diri, asal ga berlebihan sih sah sah saja. Lagian, kalau pribadi kita, secara fisik dan kepribadian, menarik dan enak dipandang, kan kita juga yang untung. Orang di sekitar kita juga untung, yaaa pada kasus mbak-mbak tadi, "ga malu-maluin diajak kondangan" lah istilahnya.

Mungkin pertemuan saya dan mbak-mbak pagi tadi merupakan cara Tuhan untuk mengingatkan saya supaya sedikit lebih perhatian sama penampilan saya. Mungkin, Tuhan mempersiapkan saya untuk lebih 'luwes' dan 'enak dipandang' ketika saya harus menghadapi dunia kantor. Yaaaa, kan ga lucu aja ke kantor, meeting sama klien, tapi muka saya gini-gini aja kaya anak SMA mau rapat OSIS (anak SMA sekarang aja lebih jago pake eyeliner dibanding lo, nir) hahaha

Well, dengan hati yang masih setengah cekat-cekit, saya menghela nafas dan membatin, "Sudah saat nya saya berdamai dengan eyeliner yang berdebu di pojokan kamar sana"

Semoga saya cepat lancar pakai eye liner.
Semoga saya ga malu-maluin diajak kondangan.

Amin.

July 22, 2012

"We Found Love in a Hopeless Place"

Well, yeah it was the line from Rihanna's song, yet actually it happened in 18 July 2012, on my experience to a nursing home in Jakarta.

Haha, easy, it's not me who in love with granny. It's just we literally found that "love" in that "hopeless" place. Let me mention the words.

First, This nursing home is called  Panti Werdha Budi Mulia 4. It is located near Pondok Indah Mall. Don't you imagine this building is as glamour as the mall I've mentioned before. Nope, it is not. It is just an ordinary, yet fair house to live in. There is nothing excessive. And I have to be honest that the place is kinda smelly. It is because most of the elderly pee in their room, they barely go to the lavatory to do the 'thing'. So yaaa, you know what happens :) Anyway, this nursing home is inhabited by more than 100 grannies, male and female. Sadly, it only has 2 nannies to take care of those 100 grannies. As we were there, we we were guided by the nursing home officers, her name was Ibu Farra, she told us that most of the elderly there, 80 % of them, were taken from the street. Unfortunately, about more than 70% of them came in depression. Generally, they got lost in this big complicated city,  Jakarta, and could not find their way home. Some of them came by their own will. For example, there was one of the granny who used to be a prostitute. I forget her name, but she was so warm, friendly and nice. She came to the nursing home for her own safety. It was so sad, knowing the condition. I wonder whether it was their family's fault for not keeping them safe or what. And I'm so sorry about that. That was quite obvious to define "hopeless" word, wasn't it? Yeah, I hope it was.


This is the bed room, 10-12 grannies sleep together in one room
Next, the second word. "Love" in here is love. The smile, the laughter, the dimples on faces, the toothless smiles, the blushes on cheeks. It's all sweet. I've never been simply happy before. You know what seeing people smiling gives enormous energy. Love is not always about a couple who fall in love and ready to be an item. No, it is way more than that. But, we will talk about that, later hahha. Anyway, in that nursing home, I feel home. As the grannies feel too, they feel home for they have a lot of friends to be shared. They said to me, keep talking with friends and doing things are the best way to live your life.
This is me with those beautiful grannies :) sweet haha
I talked to one granny, her name was Nenek Ida, if I'm not mistaken. Everyday, she made some cute little knitted crafts. She did so for she said that she needed to be more productive as much as she could. Some woman, eh? hahaha. I talked quite a lot with her. Interesting, she said that being in  a nursing home was not that bad like the people used to think. They were happy, as I said before. They feel comfortable with the place, even tough she said that not many people came to their place for visit. Hence, they were really glad to have us there.There were a lot of laughter and giggle when we were there, and I was happy for that because--it might seem simple--we made them laugh and felt so cared by us. It was a blessed. Nenek Ida said to me that actually, it was not our donation which they needed the most, yet the care was the most needed thing for them.

Nenek Ida and me, holding those cute little knitted crafts

Did I mention about love and being an item? Well yeah, this is the surprising thing within the nursing home. These grannies had a love life in there!!!! hahaha. Yep, they were having relationship, flirting each other, and even getting married! I'm not kidding about that haha. Ibu Farra told me that there were some couples in the nursing home. Even, there was an old man who was like Don Juan in that place. Yeah, some kind of player or women-eater!! It was like you-have-got-to-be-kidding-me moment when I heard the thing. I was kinda laughing out loud knowing the truth. It was just like bewilderingly unbelievable hahaha.

Well, I hope you can understand what I mean by "we found love in a hopeless place". Funny, it is because I've never imagined my self in a nursing home, having chit-chat with the elderly, sharing smile, laugh, and story. It was amazing. There are some notes that I take, after I went there. First, it is good to take care of people. To give them support, to share laughter and stories to them. It can make you think about the life and learn from it. Second, you should take care of your parents. I mean, those grannies don't want to be there, if they can choose. They positively want to be around their family, surrounded by the love of their sons and daughters. And last, it might be the lamest one, love can be found anywhere, to anyone. I mean, look at them, they are not young anymore, yet they still have a chance to love each other, found their mate, and live happily as they wish.















Once more, God is very funny, for always giving a lot of puzzling yet blissful way of life :)

Bermain di Ruang Pikir

Bermain pada ruang pikir
Menarik sekali jika kau memiliki waktu dalam satu hari
Ketika kau hanya dapat diam, mendengar semesta,
dan bernafas tenang

Melupakan ketamakan dunia
Melupakan keganasan waktu
Hanya kau dan dirimu

Lantas kau bermain, berlarian
Di ruang pikir sudut dirimu
Tak usah banyak usaha untuk membunuh hari

Membiarkan gambar-gambar itu datang
Membiarkan imajinasi berkumpul dan menari
Tak ada kata benar, tak ada kata salah
Tak ada penilaian

Ketika kau bermain pada ruang pikir
Tak ada batas untuk rasa
Tak ada jeda untuk khawatir

Karena dunia hanya untukmu
dan hanya untukmu















**untuk sahabat saya, Ardhitra Hanifah yang selalu bermain di ruang pikirnya yang berwarna :)
Intip keajaiban ruang bermainnya di http://dtchn.tumblr.com/

"It's been more than 120 days, yet it still stings. I hope it's normal, God"

2:48 a.m

July 14, 2012

Tuhan Sialan


Tuhan terkadang lucu. Selalu punya cara untuk mengingatkan umat-Nya. Akhir-akhir ini saya muak dengan dunia perkuliahan saya. Seakan-akan hidup saya dihabiskan untuk bangun, siap-siap ke kampus, masuk kelas, mencatat materi dosen atau tertidur di kelas, keluar kelas, mengurusi beberapa hal diluar perkulihan, bicara ngalor-ngidul bersama teman saya, pulang ke kosan, mengerjakan tugas, tidur dan bangun keesokan pagi nya dengan aktifitas yang kurang lebih sama. Jujur saja, saya mulai bosan dengan jadwal hidup yang seperti itu. Saya beberapa kali mengeluh kepada beberapa orang dekat atau seringkali mengeluh di dalam hati mengenai datar nya kehidupan perkuliahan saya akhir-akhir ini. Monoton, bisa dikatakan demikian. Saya lantas mengeluhkan keadaan ”kenapa sih gue mesti kuliah di Depok? Ga ada apa-apa. Ngebosenin. Kenapa ga di Jogja atau Bandung deh paling ga? Gue pasti ga akan bosen.” Lucunya, semua kesinisan saya mengenai hidup dewasa ini seakan dibalas oleh Tuhan dengan cara yang cukup sederhana.

Hari ini entah kenapa migrain saya tak kunjung reda. Padahal malam sebelumnya, saya sudah minum obat penghilang rasa sakit yang paling ampuh yang biasa saya minum dan saya juga sudah tidur lebih cepat, namun apa daya, si pusing masih betah di kepala saya. Hari ini pula jadwal kuliah saya sedang kosong. Dugaan sementara saya, kebosanan pasti akan melanda saya dengan migrain, jadwal kuliah kosong, dan kosan yang tak kalah kosongnya. Karena hal tersebut saya memutuskan untuk pergi ke bank untuk menabung dan mencari udara segar. Lantas saya pun menuju bank yang letaknya di dalam kawasan kampus saya. Rupanya, ketika naik bikun, saya turun di halte yang salah. Saya turun di halte Balairung, bukan di halte MUI. Artinya, saya harus memutar lebih jauh karena jalan tembusan Balairung-Perpus pusat (bank itu ada di dalam gedung perpus) ditutup selama masa renovasi Balairung berjalan. Jadilah saya mengambil rute memutar Balairung.

Saya berjalan perlahan sambil menikmati angin yang memang berhembus sepoi-sepoi. Ketika berjalan, saya menoleh ke kanan, Balairung, tempat mimpi-mimpi saya mulai makin merekah dan bertumbuh. Lucu sekali, mengingat beberapa tahun lalu ketika saya pertama kalinya merasakan debar yang luar biasa untuk bisa menjadi seperti saya yang sekarang, mahasiswa. Mengingat saya, Nirma 17 tahun, memiliki semua manisnya dan gelora mimpi untuk menjadi saya masa kini. Pada masa itu, Bedah Kampus UI 2008, Nirma 17 tahun tanpa ragu melemparkan pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana itu kehidupan kampus. Mulai dari macam-macam mata kuliah, cara belajar, perbedaan antara kuliah dan sekolah, prospek kerja lulusan, bla bla bla bla bla bla bla. Sungguh haus akan gambaran pernak-pernik perkuliahan. Betapa ”muda” jiwa saya waktu itu. Tidak takut akan mimpi-mimpi saya. Tidak ragu dengan segala kemungkinan yang ada dalam usaha mencapai tujuan saya.

Langkah perlahan saya lanjutkan, dan pikiran saya melayang pada masa awal-awal saya diterima di universitas impian saya ini. Ya, pendaftaran ulang. Saya ingat, di gedung samping rektorat itu, dengan setia ibu dan ayah saya menemani saya untuk mendaftar ulang. Mungkin, hal ini terasa sepele, tapi di mata saya, hal ini sungguh tak tergantikan. Hari dimana kau bisa melihat dengan jelas rona bangga ibu mu walaupun guratan kelelahan tak dapat ditutupi dari wajah nya yang teduh. Begitu juga ayah saya, betapa kau merasakan lembutnya tatapan dari seorang ayah yang kuat dan tegas. Hal seperti itu sungguh tak ternilai. Membuat orang tua bangga adalah hal yang paling menakjubkan yang bisa kau lakukan dalam hidup.

Kemudian, pikiran saya kembali ke hari ini.
Sejenak saya terdiam,
Lantas saya tersenyum,

”I’m sorry, God. I screwed up my self.”

Tuhan cukup memberikan saya migrain berkepanjangan, jadwal kuliah yang kosong, niatan menabung, bikun yang salah, dan angin sepoi-sepoi
untuk mengingatkan saya,
Menyindir saya,
Memberikan sentilan.

Betapa sesungguhnya, hidup saya sangat indah dengan segala prosesnya
Betapa seharusnya, saya mengeha nafas dan senantiasa bersyukur
Betapa semestinya, saya bisa lebih kuat melawan kepenatan yang manusiawi ini karena,
Betapa sesungguhnya, Dia telah banyak memberikan apa yang telah saya impikan, yaitu

Saya saat ini.

Kalau saja Tuhan itu teman sebaya saya, pasti saya sudah berkata,
”Sialan lo, Han. Bisa aja nyindir gue,”


Sandiningtias, 29 Desember 2011
Perpustakaan Pusat UI, bilik meja belajar
ke-4, kursi kiri, 12:42

Hai, Waktu


Hai waktu, bisa mengalah sebentar?
Saya butuh nafas.
Terengah – engah saya mengejar harapan dunia.

Hai waktu, bisa mengalah sebentar?
Saya butuh jeda.
Ruang dimana saya bebas untuk bergerak.

Hai waktu, bisa mengalah sebentar?
Saya perlu hidup.
Bukan hasil mimpi yang tersamarkan fantasi.

Hai waktu, bisa mengalahkah kau?
Untuk sejenak saya menutup mata,
Melepas penat jiwa raga.

Hai kawan manusia,
Bisakah kau berhenti?
Berhenti meracau?
Berhenti menyalahkan?
Berhenti mencaci keadaan?

Bernafaslah jika kau perlu
Karena udara adalah sekelilingmu.

Bergeraklah jika kau ingin
Karena dunia adalah ruang bagimu.

Kawan manusia,

Hidup adalah hidup.
Ketika kau bergerak, bernafas, dan berjarak atas sadarmu sendiri.

Jatuh Cinta Pada Kata-Kata

Pernah kah kau jatuh cinta?
Bukan pada seorang manusia
Tapi pada rangkaian apik kata-kata?

Hey, saya sedang menikmatinya
Menikmati hangatnya kata-kata itu mengalir ke dalam darah
Menikmati aroma manis dari pilihan diksi yang tertata pada tiap baris
Menggigil dalam tanda kekaguman yang melapisi bulu roma

Kau tau?
Kata adalah kuasa
Kuasa atas jiwa mu
Jika kau memang tak sadar itu, maka
Coba lah untuk merenung

Betapa banyak waktu habis
Hanya untuk mengenal huruf
Yang nantinya akan berubah kata
Yang nanti nya akan kau dengar

Di tiap sudut ruang gerak
Di tiap sudut hati

Lalu kau terbawa akan kata-kata
Entah kata-kata siapa,
Namun kau tahu, kata itu memiliki makna

Lalu kau terdiam, terhanyut akan kata-kata
Kata-kata yang mungkin bisa mengubahmu
Mengusikmu, menyisipkan bisik-bisik pesan dari Tuhan
Atau dari malaikat, atau dari iblis
Atau entah lah itu apa dan siapa

Dan ya, untuk kali ini Adam
Kau menangkan aku
Dengan kata-kata mu

Bukan kau yang taklukan ku
Tapi diksi mu
Dan ya, benar

Untuk tiap baris dan bait yang menghujam
Aku mencintai kata-kata mu.

July 13, 2012

Morning Blessed


You know what I like being a part of morning? The feeling of being blessed. yes, being blessed. when you wake up for the first time in the day, consciously, you feel your first breath. that is the sign of your existence as a human living. you feel your eyes, body, head, arms, hands, all of your self work from one part to another else. That's the feeling of being alive. then you feel the sun rise from the lattice of the vent or the slight slit of your window. Then either you hear the chirping birds or the buzzing cars, it still the sign of the universe to get you up. And the universe will conspire with sun, to make a warmer heat for you. it is like an alarm. the alarm which makes your eyes wide opened. Do you feel like God intentionally asks the universe to wake you up? Me? yes I do so. Hence,  how can't you be so grateful when the whole universe try to awake you? try to bring your conscious? try to make you alive? try to give you the opportunity to be the part of the most marvelous atmosphere in the world? It is the most wonderful part in the morning. You feel so special for God picks you as The Given-One. You are chosen to be born again, to live again, to learn again. Not everyone is given the opportunity to sense the beauty of a morning. Morning is enchantingly beautiful and exquisitely blessed :) 

July 12, 2012

"Keep your ideas flowing, Nirma!" 
by miss @herlin_putri 12:44 PM - 12 Jul 12 via UberSocial for BlackBerry 


Thanks miss, for every support and trust on me. Those mean a lot for me :)

Pelajaran Dari Kereta



Pembelajaran itu bisa berasal darimana saja.
Kalimat itu mungkin paling tepat untuk menggambarkan cerita saya.

Saya dan pembelajaran baru tentang hidup.

Hari itu hujan deras, sangat deras.
Dan saya harus ke kampus.
Demi apapun di dunia ini,
Akan saya lakukan untuk tidak menggerakkan tubuh saya menuju kampus yang semestinya saya cintai itu.
Tapi, mengingat nominal yang harus dikeluarkan kakak dan orang tua saya demi masa depan itu,
Saya pun berangkat.

Selama perjalanan, saya menggerutu.

“Kenapa, sih pake ujan?”
“Kenapa, sih ada kuliah pengganti?”
“Kenapa, sih kosan jauh?”
“Kenapa ga panas aja, sih?”

“Gara-gara ujan nih, sepatu gw kotor.”
“Gara-gara ujan nih, baju gw lepek.”
“Gara-gara kuliah pengganti nih, gw jadi gbs pulang cepet.”

Terus saya berjalan sambil mencaci keadaaan.
 Dan ketika saya sampai kampus.

“Nir, ga jadi ada kuliah pengganti hari ini.”

Detik itu juga,
Ingin saya bakar almamater itu.

Merasa tak ada pilihan, akhirnya saya pun pulang.
 Dan pembelajaran itu pun dimulai.

Terdapat 2 bocah pengamen tak jauh dari tempat saya duduk.
Mereka berbincang,
Saya pun curi dengar .
Intinya mereka membicarakan temannya yang sering sekali mengeluh. Susah sekali untuk diajak kerja, ngamen maksudnya. Si temennya itu sering sekali mengeluh tentang keadaan. Ya becek lah, ya hujan lah, ya panas lah, ya bga banyak orang ga dengerin lah kalo kereta sepi dan apapun yang akhir nya membuat dia malas untuk berangkat ngamen. Terus saya dengarkan percakapan mereka hingga si dua bocah itu melontarkan kalimat santai namun mengena untuk saya.

”Dia mah gt ga bersyukur, dikasih ujan minta panas, dikasih panas minta ujan. Kudunya mah hadepin aj, ya ga, tong?”
”Iya, dpikir dunia punya dia kali ya? Mau semua nurutin dia, dikata hidup sempurna kali ya buat dia?”
”Hahahahaha, bener tuh. kan kaga ad yang sempurna ya, tong. Seimbang-seimbang ajelah.”


Kalimat terakhir.
Ya, kalimat terakhir itu pelajarannya.

Tak ada yang sempurna, tapi seimbang.

Saya ingat umpatan saya tadi.
Betapa piciknya saya.
Betapa lemahnya saya.
Betapa tidak bijaksananya saya.
Betapa malunya saya kepada 2 bocah pengamen tadi.

Banyak dari kita yang hanya menginginkan semua terjadi seperti apa yang kita inginkan.
Bukan membiarkan semua terjadi semestinya.

Ketika hal datang dan kita tidak menghendakinya,
Lantas kita mengumpat,
Mencaci, bahkan marah pada kehidupan.
Merasa Tuhan tidak adil.

Tidak ada yang sempurna, kawan.

Bukankah ketika saya tidak menginginkan hujan,
Masih ada kawan lain yang sangat membutuhkannya?
Pasti selalu ada alasan baik di tiap keadaan, bahkan dalam keaadan sulit sekalipun.

Itulah seimbang, kawan.

Ketika hal ‘buruk’ datang,
Bukankah lebih baik kita tersenyum?
Mengikhlaskan semua terjadi semestinya
Bersyukur Tuhan masih mau mengingatkan kita

Ketika kita hanya mengharapkan kesempurnaan,
Hanya letih yang akan kita dapatkan.
Karena kita akan terus mencari, mencari, dan mencari.
Seperti sifat dasar,
Manusia tidak akan pernah puas.
Dan biasanya, sikap tak pernah puas itu berujung pada titik tidak bersyukur.

Ketika kita menghendaki keseimbangan hidup,
Maka apapun yang terjadi di hidup kita akan jauh lebih menyenangkan.
Karena kita membiarkan alam bekerja dengan semestinya.
Kita akan jauh lebih ikhlas.
Kita akan lebih lebih tenang, sekalipun kita sudah melakukan kesalahan dan harus memperbaikinya.
Ketika kita ikhlas, hal baik pun akan datang seiring jalan.

Itulah sebabnya, saya lebih setuju dengan ide seimbang daripada sempurna.


Mungkin, saya tidak begitu baik dalam bercerita atau bahkan cerita ini terasa sungguh membosankan dan membingungkan.
Tapi, niat saya hanya berbagi.
Itu saja.

Semoga kita bisa menjadi manusia yang lebih baik dan lebih seimbang

Mencoba Itu Tak Pernah Ada Salahnya

Pernah ga sih kalian merasa hidup kalian gitu gitu aja? ngerasa bosen sama semua kegiatan dan aktifitas yang terjadi sesuai jadwal? Ga ngerasa bebas karena yaaaa selalu ada setumpuk rutinitas yang harus dijalanin dan seakan akan itu kebutuhan yang bersifat wajib dan haram hukumnya kalo ga dikerjain?
Ngerasa ga bebas sama hidup sendiri padahal hidup itu milik sendiri? Pernah ga? Pernah? Saya sih sering, hehehe.

Biasa nya sih saya selalu punya "escape plan". Yaa sebenernya ga ke-plan-plan amat sih, soalya biasanya saya melakukan itu secara spontan. Hal yang paling sering saya lakukan adalah "ngerandom". Itu bahasa saya terhadap kegiatan jalan-jalan ga jelas saya. sendirian. ga tau mau kemana. seenak-enaknya aja. ga ngasih tau siapa-siapa, atau paling esktrem, ga ngabarin siapa-siapa dan ga pulang hahaha, jarang sih kalo sampe ga pulang itu :P. Dari situ biasanya saya melamun, ngeliatin jalan, ngeliatin orang-orang, langit, kendaraan, apapun. sampai akhirnya saya punya bahan pembelajaran dalam hidup. berkaca terhadap kehidupan luar sana dan apa yang mesinya saya perbaiki atau pun ubah. Sok bijak sih kedengeran nya, tapi jujur, saya sering kaya gitu. Karena setiap hidup di luar sana pasti punya pembelajarannya sendiri-sendiri. Saya percaya itu.

Nah, kalo udah ngelakuin ritual "ngerandom" saya, biasanya ujung-ujung nya gini nih, nulis blog, atau nulis dimana deh, secarik kertas atau apa. Biasanya ini bantu banget buat relieving burden. Karena bagi orang yang cerewet kaya saya, nulis di blog itu mengununtugkan. Pertama, saya bisa ngoceh, ngedumel seenaknya tanpa mikir-mkir. Kedua, ga akan ada orang yang kerugian gara-gara muak, kesel, bete keganggu gara-gara kecerewetan pikiran dan mulut. Kan kalo di blog ujung-ujungnya paling saya cuma ribet buat ngetik, suara tak-tik-tuk aja gitu dari keypad.

Anyway, Out of Topic saya udah kebangetan. intinya sih saya mau share cerita aja kalo "keisengan" nulis saya berdampak cukup baik. uum, gini deh. saya suka nulis juga bukan berarti saya jago nulis atau gimana. Saya nulis itu sebagai "ritual" menyeimbangkan mulut, hati, dan pikiran aja. Bahasa saya ga bagus dan saya suka banget jump into one topic to another randomly--and yes, i did it again--haha. Nah, sekitar sebulanan itu, dosen saya minta saya buat nulis artikel buat salah satu majalah. Saya harus nulis review pementasan teater di kampus saya. Dhuear!! saya kaget ga karuan. Sumpah minder parah. Ga pernah sebelum nya saya nulis untuk majalah. Ya kali majalah, dibaca orang. Blog semdiri aja ga pernah ada yang baca selain saya sendiri hhaha. Back to the topic, akhirnya setelah pergulatan batin, saya mencoba untuk menulis artikel itu. Dengan tmodal niat dan nekad, akhir nya artikel itu jadi dan saya submit ke dosen saya. Saya sih udah Lillahitaa'ala aja. Pasrah. Dipajang sukur, engga juga ga papa. However, you know what? Si majalah itu malah mampang artikel dengan nama "By Ayu Sandiningtias". Hah?! Ayu Sandiningtias yang mane nih? haha saya malah jadi bingung. Ya emang sih, itu juga hasil edit megedit seseorang editor, but I mean, trying something new is somehow interesting. Kalian jadi tau sebenernya limit kalian itu seberapa. Kalian jadi tau kalo sebenernya, hal-hal baru itu menyenangkan buat dicoba, kalo pun emang gagal, yaudah gapapa, toh namanya nyoba. Seenggaknya, kalian punya catatan di hidup kalian kalo kalian pernah ngelakuin sesuatu yang beda, dan hasil nya pasti suatu pembelajaran. Seneng deh kalo punya banyak cerita dalam hidup. Ya mungkin salah satu caranya ngelakuin hal-hal berbeda dan nyoba suatu yang baru. Ga ada ruginya! sumpah :)


(Kali kali aja kalian mau baca hehe, nih: http://suaramahasiswa.com/blog/BUDAYA-Teater-Manusia-Kayu-Tetap-Kritis-dengan-Konsep-Musikal-Khas-Teater-Kampus.html ) 


And thank God, for giving me such the opportunity :)

July 11, 2012

386 Words For Waking Up


This is kinda mesmerizing when I took a look at my friend’s blog, Fitria, and she wrote about the choice of life.
Well yeah, you know, everyone in this life has their own problems and choices. What mesmerizing is because it kinda made me think and—you know what—like you took a minute and let your mind take over you emotional thingy. Her writing was just like waking me up, slapping me right in front my nose. And I have to be grateful foe that.

Any way, she wrote about one of the famous singers in our country, name Kamga, when he became one of the speaker in out orientation activity in our campus. Short, one of the sophomore asked about how to make our self sure that we are in a right path in our life. Kamga answered the question a wowing way. He said that when you’re in a right path, you will be happy or you will have the feeling of falling in live with someone. And he added, when you realized that maybe you didn’t take the right path, there were 2 ways which you can take. First, you go back, and take the one that you should have taken, and start the new journey, or second, you can still stick to the choice that you’ve already made and taken, however you have to believe on it and optimize it. Because somehow, everything will somehow work—eventough only God knows how—when we optimize it. it still tuned out to be something worthed and blessed.

In my case, there is no option one. The second is the only left. So, all I can do now is just pray and convince my self that there will be more things out there. Moreover, things will be better and become what it supposedly happens. Surely, God has a lot of reasons, a lot of mysteries, nevertheless God always knows what is best of His people.

Ooh, one of the quote on her writing which make me strong is this:

            “ It’s gonna be okay at the end. If it’s not okay yet. Then it is not  the end.”                                                                                                                                 
-Squidward-

Thanks Fitria for writing such post.
Thank God for letting these things happen in a row
Thanks Universe for giving me the chance to perceive

July 10, 2012

Being Wild Is A Value


When we mention valuable things, what comes in our minds? It is usually associated with something good. For example, they are beauty, delicacy, pleasant, and precious. Meanwhile, wild is associated with recklessness, wilderness, and irresponsible behaviour. It is almost impossible to notice wildness as value. Being wild will always give people trouble and mess. People believe that recklessness leads to nuisance. Nevertheless, it does not always seem like that. Wildness has something which can be appreciated. It is precious for occasionally it gives you lessons. Being wild is a value.
That is what we can figure out from On the Road, a novel written by Jack Kerouac. Wild figure in Dean Moriarty comes into Sal’s life and it is quite inspiring, even tough maybe people around him do not see that as a worth.“Although my aunt warned me that he would get me in trouble, I could hear new call and see a new horizon, and believe it at my young age;” (On the Road:10). Being wild gives people inspirations for living. As in the novel, Sal is so inspired by the Dean Moriarty, one of his acquaintances whom he describes as tedious intelligence. He admires the quality which is totally different from the people in his eastern society. They are rigid, stiff, and regimental. He sees different quality which Dean has and wants to be as free as Dean. The carefree life of Dean captivates him, and even he puts Dean as his role model to life.
Being wild turns people to be a better person. It is fascinating because when people have gone wild or even mad, they do the things that they want, and it is relieving. It is freeing souls and mind. When it turns to free souls, it casts away the burdens in life which is good to life. “’Criminality’ was not something that sulked and sneered; it was a wild yea-saying over burst of American joy” (On the Road: 10). Wild minds or behaviours might be in everyone. However, not everyone is brave enough to make it happens. It might be the society who pushes them, so they just do not do that. By being wild, it makes people to be honest of them self and life. People just free their mind, do the thing that they want to do. They do not have to pretend that something is bad or immoral because of the society’s sake. That is another point that makes people a better person.
Wildness, which can be considered as a spontaneous thing, makes people to do the things that they might not try before. Wildness does not require people to think much and do less. ”…he didn’t care one way or the other.” (On the Road: 10). Being wild just wants people do things, experience, and get lesson from it. When they do something they have never strived before, they develop our self. By being wild, they encourage themselves to do anything different.
All and all, being wild does not always mean being nuisance or even criminal. It is worth something. Being wild gives you the opportunity to be more than you right now. It encourages you to do the things which maybe you have not done before. It free your self. Hence you become more honest of your life. Being wild helps you to act more than just only sit and think about your life. It is carefree. You are not afraid anymore to experience your life. Then, as a result, you earn lesson to be a better person.

Reference:
Keroac, Jack (1975). On the RoadNew York : Buccaneer Books, Inc.

Love In A Fallen City-An Essay


Good Family Is a Nightmare

“It seemed that she was trapped in a nightmare.”
 (Love in a Fallen City: 118)

This quotation is quite tickling since it is taken from a story about a good family who still holds the traditions in its life. It makes us wondering about the impact of being in a good family. Is it really advantageous? Or even is it harmful? Family is the first place or first agent when we learn norms or customs. Family is the primary agent for socializing what is right and wrong in this life. It teaches you the norms and customs to be guidance in this life. It trains you to be more aware of the regulation and obeys it. Generally, when the family grasps the regulations, norms, and customs for each of the members, it makes the family becomes the good role model. People frequently judge as the good family which has the good life since the family attaches to the regulations, norms, customs and so on. However, have we ever realized that kind of family is exceedingly frustrating? Good family does not always means good life.
It is figured in Love in a Fallen City, when the family discusses the future husband of Seven Sister. Engaged marriage, for example, is one of the horror. They pick future husband for Seventh Sister. They consider about the age, the intelligence, the job, the family, and so on. It gives the standard on the member’s life, even a high standard. It also happens in Sealed Off.  “The Wu was a modern, model household, devout, and serious. The family had pushed their daughter to study hard, to climb upward, step by step, right to the very top...” (Sealed Off: 241) When the family likes to interfere the personal business of each member or pushes so hard its member to be what they want to be, they dominate the member’s life. It is extremely demanding, consequently, it might not make them happy.
Good family is sometimes exhausting. It gives you tendency to do the ‘family things first’. “But in this time like these I have to think of their needs too.” (Love in a Fallen City: 117) Setting aside personal matter and concerning more on the family matters is important. it is an honour to serve the family. However, does it make you contented? Occasionally, it is not. Moreover, it can be burdens for some people.
Good family is frustrating. When family tends you to achieve those life standards, whether you like it or not, you have to do so. “I can’t stay here in this house any longer. I’ve known for ages how much they resent me,” (Love in Fallen City:118). To be perfectly excellent in order to keep the good name of the family needs a lot of efforts. When you can not fulfill that, people around will murmur or even consider you as a failure. Moreover, at an extreme point, they will hate you. It is trammeling.
All and all, in a society, a good family is the one which obeys the regulations, norms, and customs. When the family sticks to the right things, it is believed that they will bring happiness in their life. Nevertheless, all of the tendency to reach the standards of life is grating. They have to keep the dignity of the good family by accomplishing the proper life as it is shaped based on the standards. It might be said that even the standards are constructed from the society. Hence, good family is sickening at times since they live for the society, not for themselves. 

Cerita Dari Seteguk Coklat Panas


Saya memiliki cerita yang cukup sederhana
Tapi mampu membuat saya sedikit merenung.

Saya memutuskan untuk pergi ke sebuah mall di kota saya,  bermaksud membeli buku.
Tapi karena buku yang saya maksud tidak ada,
Saya pun berlabuh di sebuah toko donat berlambang merk denagn dominasi warna orange dan coklat
Kebetulan, saya memang ingin coklat panas dan donat berlapis gula itu

Datang. Beli. Minum.

Hal itu yang biasa saya lakukan.

Tapi kali ini, saya tidak langsung menghabiskan si coklat panas dan donat lapis gula itu dengan cepat kilat tanpa belas kasihan.
Karena, yaaa, saya memang  masih punya banyak waktu untuk ‘dibunuh’
Jadi, saya agak sedikit berlama-lama duduk disana.

Seteguk…seteguk…
Segigit…segigit…

Saya menggerakkan badan, mengatur posisi nyaman saya.

Seteguk.. seteguk..

Mata saya memandang ke arah luar,
Ternyata pohon yang berada diluar cukup hijau untuk menyegarkan mata.

Seteguk.. seteguk..
Dan segigit..

Dan saya mulai berpikir, “Ko, coklat ini lebih enak dari biasanya ya?”

Terus saya meminum seteguk demi seteguk dan tetap melihat suasana sekitar saya.

Seteguk.. seteguk..
Segigit..

Saya meletakkan coklat panas saya di atas meja.
Lalu saya memejamkan mata.
Terasa di lidah, manis yang menyebar rata..
Aroma coklat yang memenuhi saluran pernafasan saya
Dan gurihnya rasa mentega..

Saya menghela nafas, “Sungguh nikmat coklat ini.”

Akhirnya saya membuka mata,
Setelah saya membuka mata,
Saya pun tersenyum..

“Enjoy slowly.. This hot beverage is all yours..”

Itu tulisan yang terdapat di permukaan gelas colat panas yang saya minum.
Lucu sekali.
Setelah sekian lama dan sekian banyak meminum coklat panas yang sama,
Saya baru mengerti pesan yang disampaikan si coklat panas.

Memang arti harafiahnya “Nikmatilah perlahan.. Minuman panas ini sepenuhnya milikmu..”
Pesan itu sengaja disampaikan agar si pembeli bisa meminum coklat itu perlahan.
Karena memang, coklat itu cukup panas untuk diminum segera.

Tapi, saya juga menangkap lain isi pesan itu.

“Enjoy slowly… This hot beverage is all yours..”
Merupakan sindiran unik bagi saya.

Banyak dari waktu yang saya lalui segera..secepat mungkin..
Karena saya mematok banyak target hidup yang harus saya achieve.
Terus..terus..mengejar ‘sesuatu’, seperti cara yang biasa saya gunakan untuk menghabiskan coklat panas itu

Setelah habis,
Saya lupa nikmat rasa coklat itu..

Berbeda sekali dengan apa yang saya rasakan sekarang.

Coklat panas itu terasa lebih nikmat..
Dan saya baru ingat, hal yang sering luput dari carahidup atau gaya meminum coklat saya,


Jeda.



Terlalu sibuk saya dengan target dan ambisi saya.
Hingga saya melupakan tubuh saya pun berhak bersenang-senang.
Terkadang hingga saya lupa betapa indah hidup ini, bahkan dari hal-hal sederhana.

Betapa sejuk pemandangan di luar
Betapa manis cara ibu anak tadi berkomunikasi
Betapa manis kenangan hidup saya
Betapa baik keluarga, teman, dan kerabat saya
Betapa menyenangkannya menjadi saya
Betapa beruntungnya saya


Ya, benar. Saya lupa akan itu, Kawan.

Itu sebabnya saya sering merasa tak puas diri, terkadang justru merasa selalu ada yang salah, dan berujung pada rasa penat akan hidup sendiri.

Bukan bermaksud untuk hidup lambat lantas tidak memiliki tujuan dan target pencapaian.
Tapi, semata mata mengingatkan kita akan tombol ‘pause’ dalam hidup kita.

“Enjoy slowly...”

Karena,
Dengan jeda, kita lebih bisa menenangkan diri sendiri.
Menghela nafas sejenak.
Melihat dengan jelas keadaan sekitar.

“This hot beverage is all yours..”

Walaupun hidup tidak mudah,
Tapi hidup ini sesungguhnya tetap milik kita..
Kita berhak menentukan bagaimana cara kita menjalani hidup.
Kita berhak  beristirahat sejenak di tengah padatnya keadaan.
Kita berhak menepuk pundak kita, memberikan apresiasi kepada diri sendiri.
Kita berhak berbahagia atas apa saja yang terjadi dalam hidup ini.

Baru kemudian,
Merencanakan perjalanan hidup dengan diri yang jauh lebih bahagia, tenang, dan siap.


Itulah, Kawan, cerita dari seteguk coklat panas.
Semoga sedikit memberi pemahaman. J

Segelumit Kata Tanpa Suntingan

Saya tak keberatan
Ketika mereka membaca dan berkata
"Ih Nirma galau banget deh."
Karena perasaan memang tidak salah kan?
Perasaan itu memang ada, lantas mengapa saya harus kesal?

Saya juga tidak keberatan
Jika 'kamu', membaca ini
Walau saya tak yakin kamu akan membaca karena pada dasarnya 'kamu' bukan lah penikmat kata 
Namun, jika memang iya
Tak mengapa
Jika 'kamu' merasa. saya masih pada mu, 
Kamu adalah pihak yang menang, dan kamu akan terus memenangkan saya
Dan saya akan terus bertekuk lutut kepada mu
Tak mengapa

Karena saya tidak tahu kedepannya
Apa rasa akan terus sama

Tulisan ini adalah kata tanpa suntingan
Murni dari relung ini

Iya, saya rindu
Rindu berselipkan jutaan rasa membingungkan dan memilukan
Rasa yang saya tidak pernah tahu untuk mendefinisikannya

Apa sedih, kecewa, kesal, jengah, muak, marah
Entah saya tak tahu,

Yang saya tahu,
Saya hanya dapat merasakan dan membiarkan
Rasa itu terkikis waktu sambil lalu

Dan inilah pagi lagi, menyisipkan pesan lirih pd mereka yg melawan pedih. Sudi kiranya menjamunya dgn tawa bahagia"
 Posted on Twitter, by @anggablr--Angga Nugraha
6:41 AM-10 Jul 12 Via Mobile Web 

Selamat Pagi

Pagi ini pagi yang sama
Pagi ketika bangun dengan mata terbuka dan hembusan nafas sadar pertama
dan juga dengan perih yang sama

Selamat pagi, Dunia

Tak mengapa ku menyapa dengan gelintir pedih di dada
Terselipkan nyeri menusuk tiap hela
Mengalir kegetiran seakan di darah

Lara adalah bimbing semesta
Menuju dewasa dalam makna harmonisasi jiwa
Saat pedih itu berbuah tangis, tak tahu kapan,
sesungguhnya akan datang manis


Biarkan tiap hela mengalirkan ketenangan
Walau degup pilu menyerta di tiapnya
Biarkan jiwa merasa
Lantas sendu ini menjadi biasa

Selamat pagi, Dunia


Pagi ini hanya percaya

Insan ini sedang berjuang
Insan ini sedang belajar

Luka adalah lumrah









July 07, 2012

This What We Called "JLEB" In Indonesia


This day was kinda super for me.
Again and again, more lesson. As I’ve ever tweeted before, “Kembali lagi. Pelajaran lagi.”
Hahaha, God always has ways to remind His men. This several months have been hard time for me. “Exam Month,” if I could say. Yeah, it was like some sob, some moan, and blah blah—yeah, forget it. Short, God gives me His sign, in order to make me remind about this good life. It’s like my remedy to this sort-of-miserable-and-devastating problem. Ha!

So, today I had a meeting for a volunteering thing in my campus, we had some discussions, chats and jokes. And theeeereeeeeeeeee they go the lesson.
There were some “unintentional-simIple-preach” which I took it as a quote :p

“Idup tuh emang gini, Nir. Sedih, terus seneng, terus sedih lagi, terus seneng lagi, terus sedih, eeeh seneng lagi. Pasti gitu, Nir. Itu tanda nya lo idup.”-- Dhania, one of my friends who had the same bad experience like me.

“Idup itu kayaaa—apatuh namanya—alat detak jantung yang naik turun itu, selama masih naik turun grafiknya, pasti orangnya masih idup. Kalo datar tandanya mati”—Rahardian, the coolest guy I’ve ever known. Literally. Hahahaha

Well, in Indonesia we call it ”JLEB” hahaha
So yeah, then bang, those hit me—until now.
They reminded me that life is life, that’s the process. You can’t avoid that. Hence, it made me think, I had to feel the pain, enjoy the process, and earn the lesson from that.
Pain is pain, when it comes the pleasance
And it works the other way around.

Here it is, the life
The thing that is somehow questionable
The things that presents you the twinges and the contentment
The thing that gives you a lot of lessons

I won’t exaggerate my self, like I force my self to be that “positive thinking person” haha, I’m not that person, fellas.
It’s just, because of those rambling speech, I believe. Again, that life is the way it is. And truth to be told, it's sorta relieving, actually.
Up and down, rise and drown.
It is just the matter of time,
Just wait, be calm, enjoy each step.
It will be worth something J

There, there, my self, be strong
Life is too splendid only for weep

“I know every mile, will be worth my while”—Go The Distance, Michael Bolton


The Thing-I-Made-With-All-Efforts-And-Blood


M. Butterfly: The Power of Oriental Women Streotypes
 “Because a man knows how a woman supposed to act”
(Act 2, Scene 7)
The quotation above makes me wonder about the men’s power upon women. Is it really men who have the absolute power to women? From the previous quotation, it is obvious that it is men who have control of women. They are the ones who understand how women should do or act. In short, they are the ones who dominate woman.  This play, “M. Butterfly”, written by David Henry Hwang, an Asian-American playwright, portrays the power and superiority between men and women. This play has Orientalism background in it. This Orientalism makes the sense of East and West stereotypes vividly occur in this play. Rene Galimard, one of the main characters, is the symbol of the Western man himself. He is a Frenchmen, a diplomat or a leader of people, and he analogizes him self as Pinkerton, a character in the adopted play,Madama Butterfly by Giociamo Puccini, who left his Japanese woman in desertion. In contrast, the interesting part of Hwang’s version is that Gallimard who is ‘used’ by Song Liling, the Chinese spy disguising actress who is analogized as Butterfly, to get advantages from him. He is not as conquering as Pinkterton to Butterfly. This switch also deconstructed the stereotypes of oriental women as weak people. Oriental women stereotypes become power to conquer western men.
According to the Beginning Postcolonialism by John McLeod, “Orientalism is Western fantasy” is one of the shapes of Orientalism. It is said that the orient are not based on the actual observation in Oriental land, yet it is something fabricated construct. It comes from Western men’s dreams, assumptions, or fantasies. Orient is generally described as the one who serve the Western for their superiority. It also happens to oriental women value. It occurs in the text, “It’s one of your favorite fantasies, isn’t it? The submissive Oriental woman and the cruel white man.” (Act 1, Scene 10). They tend to think that oriental women are submissive and sexually sensual. There are some lines in the play which show that. “I saw Pinkerton and Butterfly, and what she would say if he were unfaithful…nothing.”(Act 2, Scene 6). This indicates that oriental women are submissive. They even don’t show their displeasure when they feel so. The sexually sensual fantasy upon orient girls is shown when Marc has a conversation with Gallimard about the party in act 1, scene 4:
Marc: Of course you don’t! you never know…They stripped, Rene!
Gallimard: Who stripped?
Marc: The girls! (Act 1, Scene 4)
They keep believing with their fantasy about oriental women until they take that stereotypes as if as it is the truth. “It is true what they say about Oriental girl. They want to be treated bad!” (Scene 3, Act 1). This is what they believe that Oriental women are weak and feminine. Unfortunately, as they earnestly believe, it makes them failed to see that probably there is something behind those oriental women’s feminine attitudes. They always imagine things from their own spectacles. That is why Song Liling can deceive Gallimard. They forgot that their fantasy-based stereotypes upon Oriental women mislead them.
The fantasy of Oriental women is supposed to create the image of “perfect women” in the Western men’s mind. They long for woman who has the grace, the delicacy, the beauty, and the willing attitude. The “perfect woman” is imagined as Butterfly. “Its heroine, Cio-Cio-San, also known as the Butterfly, is a feminine ideal, beautiful and brave” (Act 1, Scene3). It is occurred in some of the lines in the play. “She has the grace, the delicacy….” (Act 1, Scene 6) and “Unlike a western woman, she didn’t confront me, threaten, even pout” (Act 2, Scene 6). However, the idea of “perfect woman” becomes the strategy to mesmerize and weaken the Western men. As in the play, Song knows that to win the man means to win his heart. Song deliberately creates the image of “perfect women” as just as Gallimard would like it.
Song: Please….it all frightens me. I’m a modest Chinese girl.
Gallimard: My poor little treasure (Act 1, Scene 13)
“Please. Hard as I try to be modern, to speak like a man, to hold Western woman’s strong face up my own…in the end, I fail. A small, frightened heart beats too quickly and gives me away. Monsiour Gallimard, I’m a Chinese girl.” (Act 1, Scene 10)
She intentionally feminine her self based on the oriental women stereotypes. As a result, Gallimard falls for her. The falls turns into the enslaved position for Gallimard. “And it worked! He gave in! Now, if I can just present him with baby. A Chinese baby with blonde hair—he’ll be mine for life!” (Act 2, Scene 7).  Song definitely realizes that being delicate is the way to conquer men. “All he wants is for her to submit. Once woman submits, a man is always ready to become ‘generous’” (Act 2, Scene 7). Gallimard eventually gives the American info to her because he thinks that she is not that harmful. For being a “perfect woman”, Song gets what she has aimed for.
All and all, Western men’s stereotypes unconsciously weaken their own domination. It is because their fantasy of the image of Oriental women misleads them. They fail to see that probably there is something behind that feminine image. In this play, the Oriental woman deliberately forms the image of the “perfect women” in order to get her purpose. Moreover, she succeeds. The feminine images of oriental women can be the weapon to control the Western men’s domination.

Filosofi Teh Poci


Kawan, pernahkah kau mnecicipi Teh Poci asli Tegal?
teh ini agak unik karena penyajiaanya seperti teh dengan gula batu di dalam gelasnya.
ya, di dalam gelasnya langsung.
bukan dari pocinya.
apa efeknya?
efek yang paling kentara adalah
teh akan terasa pahit, sepat, dan panas pada awalnya.
karena gula batu yang ada pada gelas belum larut sepenuhnya.
tapi, lama kelamaan, teh berubah manis dan segar seiring jalannya waktu.
mungkin ini filosofi yang sejalan,
bersusah-susah dahulu..
bersenang-senang kemudian.
dan jika kita perhatikan lagi,
tiap unsur dari teh poci mengandung filosofi hidup tertentu.
Gula Batu.
manis, bisa melambangkan kesenangan, impian, dan obsesi hidup.
Teh dalam Poci
pahit, sepet, dan panas, melambangkan kesulitan dan cobaan hidup.
kalau kita ingin manis (seluruh kesenangan), apakah kita bisa langsung memakan (hanya) gulabatu?
jika kita lakukan itu, niscaya gigi kita akan remuk seketika.
gula batu juga perlu diseduh dengan teh pahit nan panas agar bisa dinikmati dengan layak, bukan?
Begitu pula dengan “kesenangan hidup.”
kita akan lebih bisa menikmati nikmat yang kita punya (gula) saat kita pernah “diseduh” denagn panasnya hidup dan pahitnya keadaan (Teh Poci).
dan kita harus tahu,
Teh Poci tidak bisa langsung diminum langsung setelah diseduh..
kau tahu bagaimana rasa melepuh akan memenuhi lapisan kulitmu.
Begitu pula dengan “kebijaksanaan hidup.”
dia perlu waktu untuk terbentuk sempurna.
dia perlu manis dan pahitnya kehidupan,
ditambah waktu tepat untuk membentuk..
Terkadang, banyak orang berkata bahkan mengeluh
“Betapa sengsaranya hidup..”
Ingatlah, Kawan, Filosofi Poci..
Teh ini akan terasa sangat segar bila diminum pada waktunya.
Semua butuh waktu untuk terbentuk sempurna.
Rasakan prosesnya, wahai Kawan.
dan tunggu saat kau rasakan nikmatnya kehidupan.
Jangan kau kira hidup ini sengsara, Kawan.
Kau tahu?
“sengsara” adalah hidup selalu menuntut bahagia.

Hmmm Hmmm Hmmm Here We Go, Mumbling


Well, well, well
Here we go again
I’ve already told you, haven’t I, that this blog would be that creepy rubbish stuff or even inspiring-well I’m afraid not-writing hahaha
Yup since this is the place for me to just mumble, I hope you don’t mind if this blog may be that pointless and rather unimportant to be read, yet I also don’t mind if you mock or something else at my blog
Because we’re not born to please people, so we don’t have any right to tell them what they are supposed to do
 Am I right, lad? :P
I’m a proud Indonesian, so allow me to preserve my national language, Bahasa Indonesia, by using this language in most of my posts (or, its just an excuse for me not to use English instead of Bahasa Indonesia for I have a bad English :P )
Nonetheless, since I was born in the era of globalization, when English is considered as the global language, please, allow me to practise my English by using English in several posts. I’m so sorry for the grammatical errors, typography, or some bad attitudes toward the usage of this Queen’s language.
*this is the end of my mumbling. sorry for this inconvenience.