July 14, 2012

Tuhan Sialan


Tuhan terkadang lucu. Selalu punya cara untuk mengingatkan umat-Nya. Akhir-akhir ini saya muak dengan dunia perkuliahan saya. Seakan-akan hidup saya dihabiskan untuk bangun, siap-siap ke kampus, masuk kelas, mencatat materi dosen atau tertidur di kelas, keluar kelas, mengurusi beberapa hal diluar perkulihan, bicara ngalor-ngidul bersama teman saya, pulang ke kosan, mengerjakan tugas, tidur dan bangun keesokan pagi nya dengan aktifitas yang kurang lebih sama. Jujur saja, saya mulai bosan dengan jadwal hidup yang seperti itu. Saya beberapa kali mengeluh kepada beberapa orang dekat atau seringkali mengeluh di dalam hati mengenai datar nya kehidupan perkuliahan saya akhir-akhir ini. Monoton, bisa dikatakan demikian. Saya lantas mengeluhkan keadaan ”kenapa sih gue mesti kuliah di Depok? Ga ada apa-apa. Ngebosenin. Kenapa ga di Jogja atau Bandung deh paling ga? Gue pasti ga akan bosen.” Lucunya, semua kesinisan saya mengenai hidup dewasa ini seakan dibalas oleh Tuhan dengan cara yang cukup sederhana.

Hari ini entah kenapa migrain saya tak kunjung reda. Padahal malam sebelumnya, saya sudah minum obat penghilang rasa sakit yang paling ampuh yang biasa saya minum dan saya juga sudah tidur lebih cepat, namun apa daya, si pusing masih betah di kepala saya. Hari ini pula jadwal kuliah saya sedang kosong. Dugaan sementara saya, kebosanan pasti akan melanda saya dengan migrain, jadwal kuliah kosong, dan kosan yang tak kalah kosongnya. Karena hal tersebut saya memutuskan untuk pergi ke bank untuk menabung dan mencari udara segar. Lantas saya pun menuju bank yang letaknya di dalam kawasan kampus saya. Rupanya, ketika naik bikun, saya turun di halte yang salah. Saya turun di halte Balairung, bukan di halte MUI. Artinya, saya harus memutar lebih jauh karena jalan tembusan Balairung-Perpus pusat (bank itu ada di dalam gedung perpus) ditutup selama masa renovasi Balairung berjalan. Jadilah saya mengambil rute memutar Balairung.

Saya berjalan perlahan sambil menikmati angin yang memang berhembus sepoi-sepoi. Ketika berjalan, saya menoleh ke kanan, Balairung, tempat mimpi-mimpi saya mulai makin merekah dan bertumbuh. Lucu sekali, mengingat beberapa tahun lalu ketika saya pertama kalinya merasakan debar yang luar biasa untuk bisa menjadi seperti saya yang sekarang, mahasiswa. Mengingat saya, Nirma 17 tahun, memiliki semua manisnya dan gelora mimpi untuk menjadi saya masa kini. Pada masa itu, Bedah Kampus UI 2008, Nirma 17 tahun tanpa ragu melemparkan pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana itu kehidupan kampus. Mulai dari macam-macam mata kuliah, cara belajar, perbedaan antara kuliah dan sekolah, prospek kerja lulusan, bla bla bla bla bla bla bla. Sungguh haus akan gambaran pernak-pernik perkuliahan. Betapa ”muda” jiwa saya waktu itu. Tidak takut akan mimpi-mimpi saya. Tidak ragu dengan segala kemungkinan yang ada dalam usaha mencapai tujuan saya.

Langkah perlahan saya lanjutkan, dan pikiran saya melayang pada masa awal-awal saya diterima di universitas impian saya ini. Ya, pendaftaran ulang. Saya ingat, di gedung samping rektorat itu, dengan setia ibu dan ayah saya menemani saya untuk mendaftar ulang. Mungkin, hal ini terasa sepele, tapi di mata saya, hal ini sungguh tak tergantikan. Hari dimana kau bisa melihat dengan jelas rona bangga ibu mu walaupun guratan kelelahan tak dapat ditutupi dari wajah nya yang teduh. Begitu juga ayah saya, betapa kau merasakan lembutnya tatapan dari seorang ayah yang kuat dan tegas. Hal seperti itu sungguh tak ternilai. Membuat orang tua bangga adalah hal yang paling menakjubkan yang bisa kau lakukan dalam hidup.

Kemudian, pikiran saya kembali ke hari ini.
Sejenak saya terdiam,
Lantas saya tersenyum,

”I’m sorry, God. I screwed up my self.”

Tuhan cukup memberikan saya migrain berkepanjangan, jadwal kuliah yang kosong, niatan menabung, bikun yang salah, dan angin sepoi-sepoi
untuk mengingatkan saya,
Menyindir saya,
Memberikan sentilan.

Betapa sesungguhnya, hidup saya sangat indah dengan segala prosesnya
Betapa seharusnya, saya mengeha nafas dan senantiasa bersyukur
Betapa semestinya, saya bisa lebih kuat melawan kepenatan yang manusiawi ini karena,
Betapa sesungguhnya, Dia telah banyak memberikan apa yang telah saya impikan, yaitu

Saya saat ini.

Kalau saja Tuhan itu teman sebaya saya, pasti saya sudah berkata,
”Sialan lo, Han. Bisa aja nyindir gue,”


Sandiningtias, 29 Desember 2011
Perpustakaan Pusat UI, bilik meja belajar
ke-4, kursi kiri, 12:42

2 comments: