January 25, 2013

Titipan Ibu


Namanya Pijar. Bercahaya seperti namanya. Perempuan berkulit putih bersih, berambut hitam panjang bergelombang sebahu, bermata bulat kecil apik, berbulu mata lentik dengan bias pewarna kelopak mata yang sengaja kau kenakan. Bibir merah terkena gincu. Pipi merah hasil perona itu. Tak usah semestinya kau gunakan semua itu. Karena wajah mu memiliki warna nya sendiri. Aura mu mempunyai cahaya nya sendiri. Tak heran mengapa ibu mu menamai mu demikian, Pijar. Mungkin karena ketika kau lahir ke dunia, pertama kali kau membuka mata, sebagian dari cahaya nirwana kau serap dalam tubuh mungilmu, dan kau bawa ke dunia. Dan kau tunjukan sekerlip lewat matamu, segelintir pada bahu dan leher jenjang mu pinggul mu, dan pasti wajah mu. Setiap lekuk tubuhmu adalah keindahan. Seakan tiap mahkluk surga berkumpul, berkonspirasi, menemukan ramuan tepat untuk menyempurnakan sosok mu. Seakan Tuhan pun tak cukup baik menciptakanmu.

Ku sebut namamu Pijar. Ibumu memanggilmu ’Nduk’. Tapi mereka menamakan mu lain. Sandra. Entah. Kata mu itu lebih komersil. Lebih Hollywood. Lebih menggoda. Aku mengerti. Kau harus melakukannya demi pekerjaan mu. Pekerjaan yang kau pilih atas nama himpitan pemuasan kebutuhan. Kota ini kejam. Kota ini membunuh. Kota ini titisan neraka. Kita semua tahu, semua usaha dibutuhkan jika kau ingin bertahan di taman seperempat neraka ini. Dan karena itu, sudah sedari tubuh mu memulai lekuk pertama nya, rencana akan pekerjaan itu muncul. Kau mengerti benar indah diri mu. Kau paham betul parasmu dan tubuh mu. Kau sadar tawa mu bermelodi. Lantas, kau upayakan semua demi menyambung nafas di belantara beton ini. Demi makan. Demi hidup. ”Demi ibu,” ujar mu.

Malam itu kita bertemu, Pijar. Setelah sekian lama aku menunggu mu. Kau datang dengan seluruh harum wangi tubuh dan gemerlap diri yang kau punya. Bintang kala itu punya saingan. Dan mereka bukan pemenang. Kau mendekat, menarik kursi dan duduk di depan ku, lantas bertanya kabar hidupku. Ku jawab dan kita melanjutkan percakapan yang berawal dari basa basi itu dengan gelak tawa. Suara mu masih sama, nyaring manja. Tawa mu masih renyah berirama. Dan mata itu, jelas cemerlang. Dengan atau tanpa riasan yang kau kenakan. Aku tahu itu. Aku pengagummu sedari kita bermain di selokan dekat jembatan. Percakapan terus mengalir. Kau katakan, dirimu tak pernah sebahagia ini. Hidup mu berubah. Ibumu tak lagi tinggal di perumahan penuh padat senggol pantat. Beliau tinggal di rumah komplek dua ratus jutaan dengan kavling atas nama pribadi. Kesehatan nya sudah diinvestasikan. Ada dua pembantu menemaninya. Sedangkan, kau tinggal di kamar apartemen. Tempat tinggal yang dulu sempat kita impikan sama sama. Kita membayangkan bagaimana rasanya tinggal di atas awan. Di tempat itu. Di atas. Di tempat yang dulu kita pun sulit untuk mengejanya. Di sebuah kamar yang harga nya sanggup menghidupi kampung senggol pantat kita selama seratus tahun, ujar mu seadanya sambil mengikik dulu. Sekarang, kau tinggal di sana, Pijar. Kau dengan pasangan mu. Bukan suami mu, bukan tunangan mu, bukan kekasihmu. Pelanggan mu. Setidaknya itu yang mungkin bisa aku simpulkan dari percakapan ini. Karena kau tak pernah mendambakan ikatan suci. Kau tak menimpikan cinta sejati. Bagi mu, asmara dua kali seminggu cukup. Asal dana tiap bulan lancar. Kau hanya datang bila diminta, kau juga menghilang jika diperlukan. Dan itu memang diperlukan. Kau tak ingin istri dari pelangganmu yang pejabat itu tahu dan menghabisi mu. Menjambak rambut indahmu, menampar wajah jelita mu, atau bahkan mengoyak bibir merah mu, atau mencabik tubuh indah mu menjadi dua belas bagian, dan memburai usus mu. Mungkin juga bukan diri nya yang melakukannya, tapi orang lain, yang dibayarnya. Entahlah, dan kau hanya tertawa dan berkata ”Sudah biasa,” menanggapi banyolan ku yang sebenarnya tak lucu. Kau tak peduli. Kau hanya ingin kau tertawa, bahagia, penuh.

Pagi ini aku ke rumah ibu mu. Beliau masih seperti dulu. Cantik sederhana. Sering ku bayangkan dirimu akan nampak persis seperti beliau tiga puluh tahun lagi. Rona ibumu selalu ramah. Senyum keibuan itu mengantarkan ku masuk ke rumah pemberian diri mu. Kau benar, rumah itu seperti rumah impian ibu mu. Bersih, sejuk, apik dengan taman belakang yang luas lengkap dengan kolam ikan. Ibu mu terlihat sehat. Investasi kesehatan itu ternyata bukan omong kosong. Ternyata tak hanya dirimu yang bahagia, ibu mu juga. Beliau katakan, beliau akan lebih bahagia jika kau tinggal bersama nya, bukan hanya dengan barang dan uang tiap bulan yang kau titipkan di bank lewat mesin sebesar kulkas dua pintu itu. Ibu mu merindukan mu, Pijar. Beliau menyayangkan mengapa kau harus bekerja begitu jauh di Surabaya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku menyimpan semua cerita hidup mu. Kisah itu bukan untuk perempuan tulus bersih ini. Kemudian beliau bercerita betapa bangga nya memiliki putri sukses seperti kau. Sekertaris yang aktif melanglang buana. Kesana kemari mencari pengalaman. Pulang pergi negeri orang. Aku cukup mendengarkannya hingga aku tak tahan dan ternyata waktu berjalan cepat dan aku mulai ketinggalan hari. Aku berpamitan kepada ibumu dan mengatakan aku akan menemuimu esok. Ibumu senang bukan kepalang. Beliau berlari kecil ke dalam rumah dan kembali dengan wajah dan air muka yang berseri, memberikan sebuah kotak merah kecil manis, berisi kalung liontin mutiara. ”Titip buat Pijar ya, Nak. Ibu pengen dia yang simpen. Bilangin dia, cepet pulang.” bisiknya lirih tambah senyum. Aku melihat getir rindu di ujung matanya. Aku genggam titipan itu dan menyampaikan salam pamit.

Bergegas ku ke apartemen mu. Lantai lima belas. Cukup tinggi untuk mewujudkan mimpi ”tidur di awan” mu itu. Aku masih menggenggam titipan. Tak perlu ku menekan bel pintu, langkah terakhir ku menuju ke kamarmu, pintu itu terbuka. Kau dengan handuk basah di kepala mu. Kaos putih polos dan celana pendek merah jambu. ”Apa kabar, Sandra?” “Aku Pijar, bodoh.” Katamu sambil menoyor kepala ku. Aku hanya mendengus kesal sambil tersenyum kecil. Apa yang bisa aku lakukan, Pijar—um maksud ku Sandra, apapun yang kau lakukan kepadaku, selalu mengundang kupu-kupu di perut. Koreksi. Tak hanya perut, tapi menyebar di tiap denyut. Kau mengajak ku masuk dan aku duduk di sofa panjang besar di ruang tengah istana awan kecil mu. Kau menyeduhkan teh sambil bersenandung lirih. Senandung yang ku kenal jelas. Senandung yang dari kecil kau dengungkan. Senandung yang ibu mu selalu merdukan tiap kau hendak terlelap semenjak kau curi indah surga dan kau bawa ke dunia. Senandung yang sama. Terbayang semua kenangan masa kecil kita yang jorok. Anak selokan, anak layangan, anak ingusan, anak kampung. Kembali semua ingatan tentang kepangan rambutmu, raut wajah mu ketika kau menangis karena ayah mu tak jadi membelikan mu kunciran rambut baru. Kau berhenti bersenandung, menatap ke arahku dan tersenyum. Senyum manis yang membentuk lesung di pipi mu itu. Pipi merona yang dulu pernah ku kecup malu-malu saat kau tidur di rumah ku karena teralu letih bermain layangan sore itu. Kau begitu cantik waktu itu, dan hari ini kau lebih cantik dari biasanya. Kali ini kau Pijar, bukan Sandra. Kau bersenandung lagi, mengingatkan ku pada ibumu. Ah iya, ibu mu dan titipan nya. Maafkan aku, Pijar. Aku kesini menggenggam titipan, tapi bukan dari ibu mu. Titipan dari klien ku. Seorang ibu juga, ibu dari tiga anak yang ayah nya berselingkuh dengan perempuan muda bernama Sandra. Tapi dia memanggil nya Sundal, bukan Sandra.  Maafkan aku, Pijar. Aku kesini bukan untuk mengantarkan titipan ibu mu, tapi ibu yang lain. Maafkan aku, Pijar. Tak dari dahulu saja aku mencari mu dan meminta mu untuk hidup bersama ku, tentu ibumu boleh ikut serta. Aku menyayangi mu dari dulu, Pijar. Kali ini aku datang, tapi bukan untuk meminangmu. Maafkan aku, Pijar. Aku disini, hari ini, untuk membunuhmu.

No comments:

Post a Comment