November 12, 2013

Arogansi


Sempat  ada waktu perih timbul, sesak membengkak, dan iri menyembul pada setiap kata, baris, bahkan jeda yang kau tata pada koma. Tentang mereka. Siapapun mereka, apa warnanya, dan bagaimanapun kau wujudkan dalam imaji. Manis, pahit, pedih, melambung, menyentuh, tipikal jatuh cinta.
Hingga kau mengalungkan nama baru di dada mu, “pujangga,” kata mereka.
Sempat ada waktu logika mengerjakan tugasnya. Membandingkan. Mencocokan antara perkataan yang terucap dan kenyataan yang terpampang. Mengoreksi, nampaknya. Pada akhirnya, kotak logika menyimpulkan korelasi nihil adanya.
“Katanya ‘A’, nyata nya enggak.”
Atau begini saja. Mari kita ambil tengahnya—bukan—negosiasi, apa katanya.
Jelas saya bukan inspirasi. Tapi katakan saja,

Hanya saya yang mampu.

Menghipnotismu.
Membuatmu kaku.
Kelu.
Terpaku hanya pada satu.
Tak berkata-kata.
Tak bersuara.
Dan wahai pujangga, jelas,  maaf saja,
kau tak mampu lagi rangkaikan kata indah dan diksi memabukan.

Karena otak mu berhenti.
Malfungsi.

No comments:

Post a Comment