October 10, 2012

Sore Ini Seperti Biasanya


Sore. Ya sore ini saya terus memandangi langit. Langit dari batasan mata sejauh memandang. Mengerling. Menatap. Melirik. Entah apapun itu bahasanya yang  menunjukan bahwa mata ini sedang mengarah pada objek. Langit hari ini tampak kosong. Entah mengapa. Padahal hari ini sama saja seprti biasanya. Ramai. Riuh. Panas. Pengap. Sore di Jakarta pada umumnya. Dan ini lah saya. Sendiri. Menatap. Duduk di atas tembok pemisah. Menemani langit. Lucu sebenarnya jika saya bilang saya menemani langit. Karena sesungguhnya, saya tidak tahu siapa yang menemani siapa. Entah lah, saya tak mahir dalam berbahasa. Konsep menemani dan ditemani itu samar. Saya tak pandai dalam merangkai kata-kata Saya hanya terbiasa begini. Menyendiri jika memang tidak ada yang harus ditemani.
Sebenarnya saya bukan penyendiri. Ketika memang ada seseorang ada menemani. Ya, terlepas dari konsep menamani dan ditemani yang saya rasa bias, saya memang bukan penyendiri. Saya dulu berdua. Bersama sahabat saya.  Sahabat yang sangat saya cinta. Sahabat yang selalu menemani sore saya dengan gelak tawa mengenai hal sederhana. Sahabat yang biasa nya menghiasi sore yang sumpek ini dengan kesegaran cerita bodoh nya. Sahabat yang tidak hanya untuk berbahagia di sore hari, tapi juga menangis di malam kelam. Sahabat yang tidak hanya menyadarkan di pagi hari, tapi juga menyemangati di siang hari.
Awan itu putih keemasan. Seperti biasanya. Sore ini ramai. Seperti biasanya. Langit masih terang. Seperti biasanya. Tapi tak ada lagi kopi di sini. Tak ada lagi pisang goreng yang kau beli di pinggir jalan. Tak ada lagi abu rokok bedebah bertebaran. Tak ada lagi hembusan asap putih menyesakan. Tak ada lagi perdebatan mengenai siapa yang lebih seksi, si merah atau si putih. Tak ada lagi nyanyian parau itu. Tak ada lagi umpatan tolol itu. Tak ada lagi lengkingan tawa aneh itu. Tak ada lagi.

Sore ini ramai, seperti biasanya. Tapi ada yang tak biasa. Semilir angin ini. Kosong. 

No comments:

Post a Comment